Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pelaku Reksa Dana dan Investasi Indonesia (APRDI) mengimbau para investor reksa dana agar menyikapi isu negatif di industri investasi kolektif belakangan ini dengan tenang dan bijak.
Adapun kemarin, Kamis (25/6/2020), Kejaksaan Agung menetapkan 13 perusahaan manajer investasi (MI) sebagai tersangka dalam kasus korupsi berjamaah di Jiwasraya.
Pengumuman tersebut tentu mempengaruhi posisi investor baik yang kini memegang produk reksa dana dari MI tersangka kasus Jiwasraya tersebut maupun yang tidak.
Ketua Dewan Presidium APRDI Prihatmo Hari Mulyanto melalui keterangan resmi yang diterima Bisnis mengajak investor tetap tenang dan bijak dalam mengambil keputusan atas investasi reksa dananya.
“Dewan APRDI mengimbau kepada investor reksa dana secara umum untuk aktif berkomunikasi dengan MI atau Agen Penjual Reksa Dana yang ditunjuk, untuk memperoleh informasi yang akurat dan benar, sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan investasinya,” tulis Hari, Jumat (26/6/2020).
Lebih lanjut, Hari mengingatkan bahwa setiap portofolio reksa dana dikelola secara terpisah antara satu reksa dana dengan reksa dana lain.
Dengan demikian, masalah yang terjadi pada sebuah reksa dana tidak akan serta merta mempengaruhi produk reksa dana lainnya yang dikelola oleh MI yang sama.
Sebelumnya, dua perusahaan MI yang dijadikan tersangka oleh Kejagung yaitu PT MNC Asset Management dan PT Sinarmas Asset Management menjelaskan bahwa produk yang tersangkut dengan kasus Jiwasraya merupakan produk reksa dana dengan kepemilikan investor tunggal dan tidak terkait dengan produk lain yang dipasarkan perseroan.
Direktur Utama MNC Asset Management Frery Kojongian mengatakan, produk reksa dana yang dimiliki oleh Jiwasraya hanya 1 dari 35 produk yang dimiliki oleh perusahaan. Produk bernama MNC Dana Syariah Ekuitas II tersebut dipastikan tidak akan berdampak pada produk-produk lainnya.
“Total dana kelolaan pada produk MNC Dana Syariah Ekuitas II ini hanya 2,9% dari seluruh total dana kelolaan yang ada di MNC Asset Management per 26 Juni 2020” jelasnya dalam keterangan resmi pada Jumat (26/6/2020).
Frery juga mengungkapkan, nasabah tidak perlu panik karena perusahaannya adalah salah satu Manajer Investasi (MI) terdaftar dan diawasi OJK yang senantiasa selalu patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Direktur Utama Sinarmas Asset Management Alex Setyawan menyampaikan hal serupa bahwa produk reksa dana Simas Saham Ultima yang dimiliki oleh Jiwasraya tidak terkait dengan total 63 produk lainnya yang dimiliki perseroan.
Alex memaparkan bahwa saat ini perseroan memiliki 64 produk reksa dana yang dipasarkan dengan nilai dana kelolaan mencapai Rp30,2 triliun. Adapun, produk Simas Saham Ultima merupakan produk yang hanya dibeli Jiwasraya dan tidak terkait dengan produk lain.
“Total dana kelolaan dari Simas Saham Ultima hanya berjumlah 0,2 persen dibandingkan dari total kelolaan dana PT Sinarmas Asset Management. Oleh karena itu, tidak berdampak terhadap korporasi karena dana kelolaan yang dipermasalahkan tidak signifikan,” jelasnya
Adapun, penerbitan reksa dana dengan kepemilikian investor tunggal ini telah dilarang oleh Otoritas Jasa Keuangan pada 2019.
Kala itu, Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Yunita Linda Sari meyampaikan OJK menemukan tingkat aktivitas pemanfaatan reksa dana sebagai sarana perbaikan pembukuan (financial engineering) oleh sejumlah pihak semakin meningkat.
Berdasarkan data Direktorat Pengelolaan Investasi per 27 Agustus 2019, terdapat 2.158 produk reksa dana dengan dana kelolaan senilai Rp536,52 triliun.
Di dalamnya, terdapat 689 reksa dana dengan dana kelolaan senilai Rp190,82 triliun yang dimiliki oleh investor tunggal.
Dari jumlah tersebut, terdapat 621 reksa dana investor tunggal dengan portofolio investasi lebih dari 1 efek (non tunggal) dengan total dana kelolaan senilai Rp181,38 triliun.
Sisanya, sebanyak 68 reksa dana merupakan reksa dana yang dimiliki oleh investor tunggal dengan portofolio investasi 1 efek dengan dana kelolaan Rp9,4 triliun.
“Praktik pengelolaan reksa dana yang dimaksud di atas berpotensi memperluas eksposur risiko dalam pengelolaan investasi,” tulis Linda dalam surat bernomor S-1100/PM.21/2019.