Bisnis.com, JAKARTA — Prospek pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu daya tarik investor mengoleksi aset saham di Asia kendati wilayah tersebut masih disibukkan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Rob Marshall-Lee, Head of Emerging Market and Asian Core Equities di Newton Investment Management, mengakui saham-saham Asia memiliki risiko yang tinggi, mulai dari sentimen memburuknya hubungan Korea Selatan dan Korea Utara, hingga kekhawatiran munculnya gelombang kedua Covid-19.
Namun demikian, Marshall-Lee menunjukan bahwa dolar AS juga tidak akan sekuat sebelumnya dan bahkan mulai melemah seiring dengan Bank Sentral AS (Federal Reserve) gencar menggelontorkan stimulus ekonomi.
“Aksi The Fed itu mencerminkan akhir dari pasar bullish dolar AS selama ini. Faktor demografi dan tingkat utang tentu tidak akan mendukung dolar. Sementara itu pertumbuhan terus berlanjut di Asia, sekarang di China, berikutnya di India dan Indonesia,” kata Marshall-Lee yang mengelola aset senilai US$53 miliar, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (18/6/2020).
Adapun dana kelolaan aset emerging market di perusahaan manajer investasi Inggris tersebut memiliki pangsa pasar sebesar 1 persen dari total dana kelolaan industri dan memberikan return sebesar 6,6 persen pada tahun ini. Padahal, perusahaan manajer investasi serupa mengalami potensi kerugian sebesar 13 persen.
Marshall-Lee mengungkapkan bahwa pihaknya terus mengakumulasikan saham-saham siklikal yang banyak ditinggalkan investor pada Maret dan April. Adapun saham pilihannya beragam mulai dari sektor pertambangan, transportasi, dan barang konsumer.
Baca Juga
Lebih lanjut, risiko yang ada di pasar saham Asia juga tidak luput dari perhatian. Marshall-Lee menyampaikan tensi dagang antara AS—China dan gelombang kedua Covid-19 menjadi ancaman utama di Benua Kuning saat ini.
Pasalnya, hal itu akan membuat perusahaan multinasional enggan menambah kapasitas manufaktur di Asia.
“Covid-19 sebenarnya membawa dampak yang lebih besar [dari perang dagang], tapi efeknya hanya sementara dan valuasi saham menjadi terdiskon sehingga membuka peluang besar untuk stock picking,” tutur Marshall-Lee.
Pada saat bersamaan, stimulus dari The Fed akhir-akhir ini disebut bakal meningkatkan risiko terhadap penguatan greenback ke depannya. Investor pun diperkirakan beralih mencermati aset-aset di kawasan Asia—Pasifik yang mendapat berkah dari potensi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.