Bisnis.com,JAKARTA— Pemerintah menyiapkan diversifikasi sejumlah instrumen surat berharga negara untuk menjaring dana dari luar negeri pada 2020. Beberapa instrumen surat utang yang akan dirilis antara lain obligasi diaspora dan green sukuk.
Pemerintah melaporkan realisasi pembiayaan surat berharga negara (SBN) senilai Rp420,8 triliun sejak awal 2020 hingga 20 Mei 2020. Dengan realisasi itu, kebutuhan pembiayaan bruto yang tersisa dan harus dipenuhi dari Juni 2020 hingga Desember 2020 mencapai Rp990,1 triliun.
Secara detail, sisa penerbitan SBN itu akan dipenuhi dari lelang SBN di pasar domestik, penerbitan SBN ritel dengan target sebesar Rp40 triliun hingga Rp50 triliun, SBN valas dengan target sebesar US$4 miliar hingga US$7 miliar, private placement, hingga pembelian SBN dengan skema khusus oleh Bank Indonesia (BI) sebagai last resort.
Sebagai salah satu alternatif menggalang dana dari luar negeri, pemerintah juga tengah menyiapkan penerbitan diaspora bond. Emisi salah satu bentuk SBN ritel itu rencananya akan dilakukan pada November 2020.
Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJJPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Ridwan menuturkan saat ini pemerintah belum melakukan penjualan diaspora bond karena masih mematangkan rencana tersebut.
Dia menjelaskan bahwa awalnya pemerintah berencana melakukan penerbitan pada Agustus 2020. Namun, rencana berubah menjadi sekitar November 2020.
Baca Juga
“Target baru penerbitan November 2020 ini masih tentatif dan persiapan teknis sangat menentukan. Kami juga ingin melihat apakah animo cukup besar untuk membeli diaspora bond,” jelasnya dalam paparan akhir pekan lalu.
Penerbitan diaspora bond menurutnya memiliki sejumlah manfaat. Dari sisi pemerintah, instrumen itu menjadi sumber pembiayaan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN.
Dia menyebut diaspora bond juga dapat menjadi alternatif investasi bagi para diaspora. Suku bunga yang ditawarkan menurutnya masih cukup menarik. “Kisaran suku bunga untuk diaspora bond 6 persen hingga 7 persen,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kemenkeu Dwi Irianti Hadiningdyah mengatakan pemerintah sedang mempersiapkan penerbitan green sukuk baik di pasar global maupun green sukuk ritel.
Persiapan itu dilakukan di tengah gejolak pandemi Covid-19 tahun ini. “Penyiapan green proyek dan publikasi green sukuk report," jelasnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Sebagai catatan, Indonesia merupakan penerbit green sukuk pertama di dunia. Indonesia telah menerbitkan sukuk negara di pasar internasional untuk membiayai proyek-proyek ramah lingkungan atau global green sukuk senilai US$1,25 miliar pada 1 Maret 2018.
Di lain pihak, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan rencana penerbitan instrumen-instrumen tersebut merupakan cara pemerintah untuk mendapatkan dana yang digunakan dalam membiayai negara.
“Kebutuhan pembiayaan tinggi karena ada pandemi. Pemerintah membutuhkan dana,” jelasnya.
Ramdhan memperkirakan peluang pemerintah untuk mendapatkan dana segar dari luar negeri terbuka lebar. Pasalnya, Indonesia memiliki catatan yang baik dalam pasar keuangan global.
Dia menambahkan saat ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menjaring dana dari luar negeri lewat instrumen surat utang. Hal itu sejalan dengan kondisi pasar yang mulai membaik tercermin dari penurunan yield SUN Indonesia tenor 10 tahun ke level 7 persen.