Bisnis.com, JAKARTA – Laju pergerakan saham emiten pelat merah yang tercermin dari indeks BUMN20 masih underperform terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun, indeks tersebut berpotensi menguat dengan adanya berbagai sentimen positif belakangan ini.
Sepanjang tahun berjalan indeks BUMN 20 mengalami koreksi 29,48 persen ke level 275,28. Adapun, pada hari perdagangan terakhir pekan lalu indeks ini menguat 1,67 persen atau menguat 4,52 poin dari hari sebelumnya.
Meski begitu, kinerja indeks BUMN20 masih kalah dibandingkan IHSG yang pada perdagangan terakhir menguat 0,63 persen atau 31,08 poin. Sepanjang tahun berjalan IHSG terkoreksi 21,46 persen ke level 4.947,78.
Penekan laju BUMN20 sejauh ini adalah kinerja emiten perbankan pelat merah yang terkoreksi besar-besaran. PT Bank Negara Indonesia (Persero) TBk. (BBNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) menjadi tiga top laggards teratas.
Selain tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut, jajaran lima top laggards BUMN20 diisi oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS).
Meski begitu, sejak BUMN20 maupun IHSG terkapar ke level terendahnya pada pertengahan Maret, mayoritas saham-saham ini kemudian menjadi salah satu penopang penguatan indeks. Top laggards, juga menjadi top leaders dalam beberapa waktu terakhir.
Pada rentang 24 Maret 2020—5 Juni 2020, saham perbankan seperti BBNI dan BBRI, masuk sebagai top leaders dengan penguatan masing-masing 25,37 persen dan 18,70 persen. TLKM juga tercatat sebagai top leaders dengan kumulasi penguatan mencapai 20,52 persen.
Penguatan IHSG maupun saham-saham BUMN20 belakangan ini terjadi di tengah maraknya sentimen positif belakangan ini. Hal ini tersebar dari skenario kenormalan baru di dalam dan luar negeri, hingga berbagai stimulus ekonomi di luar negeri.
Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menilai penguatan tersebut memang lebih banyak disebabkan oleh kembalinya arus modal portofolio asing ke dalam negeri. Namun, tidak berarti persepsi investor terhadap saham-saham BUMN mulai berbalik positif.
Hal itu pula yang membuat kinerja saham-saham BUMN belum dapat mengungguli IHSG secara umum. Investor masih mengantisipasi penurunan kinerja pada kuartal II/2020. Namun, secara valuasi emiten BUMN dinilai sangat menarik karena sudah terdiskon cukup besar. Sehingga, mulai masuk ke saham-saham tersebut.
“Seminggu terakhir dana asing masuk ke pasar dan membuat harga mereka [emiten BUMN] ikut menguat. Asing sebenarnya cuma masuk karena dua emiten, yaitu BBRI dan BBCA, tapi hal ini membuat saham-saham lain ikut tertarik,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (5/6/2020).
New normal (kenormalan baru) akan memberikan dampak positif bagi perusahaan plat merah./ilustrasi
Meski begitu, dia menilai faktor skenario kenormalan baru memang memberikan dampak positif terhadap persepsi investor. Hal ini diperkirakan akan kembali menggerakkan roda perekonomian, termasuk di dalamnya kegiatan operasional emiten BUMN.
Sentimen ini perlahan mulai mengurangi tekanan terhadap emiten BUMN yang terimbas dampak Covid-19. Sebagai BUMN, sentimen negatif lebih banyak berasal dari langkah pemerintah yang merealokasi anggaran untuk kebutuhan penanganan wabah itu.
Hal ini membuat saham-saham BUMN Karya mengalami kontraksi paling dalam saat indeks terkapar ke level terendahnya. Menurutnya, investor mengantisipasi penurunan alokasi pembangunan infrastruktur pemerintah yang selama ini menjadi salah satu kontributor utama pendapatan sektor tersebut.
“Sehingga kalau bicara volatilitas, karya yang paling tinggi, contohnya sehari dia bisa naik 11 persen, atau turun cukup besar dalam sehari. Kalau perbankan kan lebih kemungkinannya untuk naik atau turun belasan persen dalam sehari,” jelasnya.
Secara umum, dia menilai skenario kenormalan baru diperkirakan akan memperbaiki kinerja emiten BUMN secara bertahap mulai kuartal III/2020. Namun, dalam jangka pendek investor masih akan mencermati laporan kinerja pada kuartal II yang diperkirakan akan menurun.
Selain itu, investor masih akan mencermati seberapa siap Indonesia menerapkan kenormalan baru. Pasalnya, dia menilai potensi peningkatan penularan wabah masih akan menjadi faktor yang diwaspadai para pelaku pasar.
“Asumsinya Juli sudah sudah tidak ada pembatasan, kalau itu yang terjadi ekonomi dengan sendirinya akan membaik terhadap kuartal II, tapi kalau ternyata sudah dilonggarkan malah tambah parah [wabah Covid-19), bisa jadi pembatasan berkepanjangan di kuartal III,” jelasnya.
Suria menilai dengan berbagai pertimbangan tersebut, emiten BUMN sektor telekomunikasi dan perbankan menjadi pilihan utama. Telekomunikasi sejauh ini dinilai tidak terlalu terdampak negatif oleh wabah Covid-19. Sementara itu, perbankan dinilai akan lebih cepat pulih saat perekonomian mulai membaik.
Di luar itu, beberapa emiten di sektor pertambangan juga memiliki potensi menarik lantaran ekonomi di beberapa negara tujuan ekspor mulai membaik, khususnya China. Hal ini diperkirakan akan kembali meningkatkan permintaan komoditas pertambangan dan menjadi sentimen positif untuk PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Timah Tbk. (TINS), dan PT Bukit Asam Tbk.
Khusus untuk Bukit Asam, daya tarik tambahan juga akan datang dari faktor dividen yang diberikan perusahaan tersebut. Berkaca dari rasio dividen pada tahun sebelumnya yang mencapai 75 persen, tak menutup kemungkinan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pekan depan akan memutuskan hal serupa.
Di sisi lain, menurutnya investor akan melihat program pemerintah untuk penyelamatan BUMN sebagai sentimen positif. Meski tidak berlaku untuk seluruh BUMN, hal ini meningkatkan kepercayaan investor karena menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam perusahaan pelat merah menghadapi masalah besar.
Meski begitu, hal ini juga bisa menjadi sentimen negatif bagi BUMN lainnya, khususnya di sektor perbankan. Menurutnya, hal ini akan terjadi apabila perbankan banyak dilibatkan untuk memberikan bantuan, baik berupa restrukturisasi kredit maupun tambahan pinjaman.