Bisnis.com, JAKARTA - Harga batu bara acuan (HBA) diperkirakan masih akan tertekan pada semester II/2020 seiring dengan berkurangnya permintaan China dan India.
Terkini pada bulan Juni 20202, HBA kembali mengalami tekanan seperti di tahun 2016 yakni berada di angka US$52,98 per ton. Untuk diketahui, sepanjang tahun 2019, rerata harga batubara acuan (HBA) berada di angka US$77,89 per ton.
Sejak Januari 2020, HBA mengalami fluktuasi. HBA Januari mencatatkan angka di US$65,93 per ton, turun dari US$66,30 per ton di Desember 2019. Kemudian naik di Februari US$66,89 per ton dan Maret sebesar US$67,08 per ton.
Lalu HBA kembali mengalami penurunan di April yang mencapai US$65,77 per ton dan sebesar US$61,11 per ton pada bulan Mei.
Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Johnson Pakpahan memproyeksikan harga batubara Indonesia pada akhir tahun 2020 berada di rentang US$59 per ton hingga US$61 per ton.
"Ada beberapa yang kita gunakan sebagai acuan untuk memprediksi nanti sampai akhir 2020 ini seperti apa," ujarnya, Jumat (5/6/2020).
Baca Juga
Menurutnya, harga batubara tertekan kondisi oversupply pasar global. Namun demikian, harga batubara diperkirakan akan kembali menguat setelah pandemi Covid-19 reda.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menuturkan penurunan harga ini karena siklus biasa dan ditambah pengaruh Covid-19.
"Mulai Juni diharapkan sudah mulai naik lagi," katanya kepada Bisnis, Minggu (7/6/2020).
Dia memprediksi harga batubara di sepanjang tahun ini akan berkisar US$60 per ton hingga US$80 per ton.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli berpendapat penurunan HBA Juni sebesar 13,3 pdfxdn dari bulan sebelumnya diakibatkan lockdown India dan kondisi oversupply China di awal bulan Mei.
"Pada kuartal II/2020, angka produksi dan ekspor Indonesia diproyeksikan akan lebih rendah dibanding tahun lalu dan kuartal I/2020 akibat dampak pandemic Covid-19," ucapnya.
Menurutnya, kondisi produksi dan penjualan di semester II/2020 sampai akhir tahun akan sedikit meningkat dibandingkan dengan asumsi pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19 mulai dicabut di berbagai negara, sehingga kebutuhan listrik dan industri berangsur kembali pulih.
Momentum perbaikan kondisi ekonomi ini, bukan hanya Nasional namun regional dan global sehingga harus disikapi oleh perusahaan batubara dengan berusaha mencapai target sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) yang sudah disetujui.
Dia menilai perusahaan harus jeli melihat market baru, bukan hanya market besar agar productnya masih bisa diserap. Tantangan ini tak mudah karena perusahaan juga harus tetap menjalankan protokol pencegahan pendemi Covid-19 pada level operasional tambang
Jika gagal menerapkan protokol Covid-19 di lingkungan perusahaan dan tetap ada pekerja tambang yang positif terkena virus corona ini, maka akan berdampak kepada tidak tercapainya target volume dan penurunan produktivitas.
"Tentunya target perusahaan akan terkoreksi jika perusahaan tidak menemukan market baru dan gagal menerapkan protokol pencegahan Covid-19, alih-alih akan menambah produksi, sesuai dengan RKAB awal saja sudah bagus," tutur Rizal.
TURUNKAN PRODUKSI
Rizal menambahkan target produksi Indonesia secara nasional yakni sebesar 550 juta ton sepanjang tahun ini, sebaiknya disesuaikan turun sebesar 50 juta ton hingga 70 juta ton dari tahun lalu untuk menyeimbangkan market dengan level permintaan yang juga turun secara global, sehingga harga batubara tidak tergerus lebih besar lagi.
"Dengan adanya pembatasan produksi secara Nasional maka harga batubara akan dapat terangkat pada level yang wajar, masih memberikan keuntungan yang baik bagi perusahaan dan stakeholder terkait," ucapnya.
Rizal memproyeksikan berdasarkan kondisi terakhir dan mempertimbangkan asumsi parameter ekonomi selama tahun 2020, trend HBA sampai akhir tahun akan stabil bergerak di level US$50 per ton hingga US$65 per ton.
"Ini turun jika dibandingan dengan HBA tahun lalu dalam periode yang sama," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pada kuartal 2 khususnya Mei, kondisi batubara masih mengalami oversupply karena permintaan mengalami penurunan yang tajam.
"China masih oversupply, stockpile mereka masih cukup banyak sehingga impor berkurang. India masih lockdown, demand drop dan mereka masih oversupply jadi harga turun," ujarnya.
Asosiasi pertambangan batubara China juga memperkirakan permintaan di kuartal II/2020 akan turun setelah koreksi sekitar 6,8% pada kuartal I/2020 akibat penanganan Covid-19. Untuk pasar di India juga masih akan diperkirakan lesu di sisa kuartal II/2020 bulan Juni.
Meski kemungkinan kebijakan lockdown tidak akan diteruskan, tetapi ekonomi dan industri setempat belum bisa recovery full, sehingga permintaan batubara masih rendah. Pasalnya, karena pemerintah setempat juga sudah menginstruksikan agar PLTU batubara memprioritaskan pasokan batubara domestik mereka.
"Kami proyeksikan hingga akhir tahun ini kondisi batubara masih terus mengalami tekanan karena mengalami oversupply," kata Hendra.
Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menuturkan penurunan HBA saat ini lebih karena parameter 4 indeks sebelumnya. Namun kondisi pasar batubara harga di Pasar Pasifik, khususnya Cina, saat ini relatif tidak turun jauh, bahkan sebagian telah flat atau naik sedikit.
"Yang jadi masalah wilayah Cina selatan justru menambah kapasitas listrik dari hydropower akibat hujan cukup tinggi. Ini secara langsung juga menekan proyeksi kenaikan impor Cina, apalagi juga berberapa perusahaan tambang lokal juga mulai beroperasi kembali," jelasnya.
Menurutnya, harga batu bara yang turun akan membuat perusahaan melakukan langkah efisiensi. Namun, apabila terjadi penurunan yang terlalu dalam, maka Kementerian ESDM sebagai principal justru harus terlibat untuk menyelamatkan industri batu bara Tanah Air.
"Sama hanya di Cina, Pemerintah pun masuk ke wilayah riil dalam mengelola harga impor dengan sekaligus mendorong tambang lokal yang telah mulai beroperasi," tuturnya.
Dia menilai dengan kondisi turunnya HBA, sebagian perusahaan akan tetap sama target produksi tahun ini. Bahkan ada beberapa yang sedikit menaikkan RKAB meskipun tak terlalu ekstrim.
Dengan kondisi batasan produksi di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang sebatas 400 juta ton, semestinya langkah untuk perubahan produksi dalam RUEN harus dilakukan.
"Menteri sebagai Ketua Harian DEN bisa saja melakukan, namun kebetulan komposisi anggota pemangku kepentingan masih fakum, maka secara administrasi tidak mudah," katanya.
Dia mengusulkan ke depan agar kepastian produksi lebih dapat mengamankan perusahaan dalam melakukan langkah strategis korporasi, semestinya RKAB itu dapat dilakukan dalam 5 tahun.
"Arah eksplorasi dan investasi menjadi terproyeksi jelas bagi korporasi. Bukan setiap tahun menjadi hal yg membuat "deg-degan" perusahaan," ucap Singgih.