Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan terus memantau kondisi emiten-emiten yang memiliki kewajiban jatuh tempo surat utang pada tahun ini. Adapun nilai utang obligasi emiten yang outstanding hingga akhir tahun ini mencapai Rp117 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen mengatakan pihaknya telah mengantisipasi risiko kesulitan likuiditas bagi emiten yang menerbitkan surat utang dengan sejumlah mekanisme terkait restrukturisasi obligasi.
Menurutnya, saat ini OJK terus memantau dan melakukan asesmen terhadap masing-masing emiten. Selain itu, Hoesen menyebut OJK juga bekerja sama dengan sejumlah lembaga pemeringkat dan berkomunikasi dengan investor, baik domestik maupun asing.
“Kita punya concern yang sama. So far mudah-mudahan ke depan masalah mengenai likuiditas di korporasi bisa kita lewati,” ujarnya saat konferensi pers via tayangan video streaming, Kamis (4/6/2020).
Lebih lanjut, Hoesen menyebut per Juni hingga Desember 2020 ini, outstanding utang jatuh tempo pokok dan bunga obligasi emiten—sudah termasuk emiten BUMN dan non-BUMN—mencapai Rp 117 triliun.
Namun, Hoesen enggan memerinci emiten mana saja yang tengah diasesmen oleh OJK terkait jatuh tempo utangnya. Dia hanya memastikan bahwa mekanisme penyelesaian utang jatuh tempo ini sudah tersedia.
Baca Juga
“Biarkan itu menjadi bagian keterbukaan informasi dari emiten, saya tidak ingin bicara individual company, tapi secara agregat, datanya seperti itu,” kata Hoesen.
Menurutnya, sejumlah emiten sudah mulai mengungkapkan sikap mereka terkait obligasi masing-masing melalui Keterbukaan Informasi, baik soal kemampuan bayar atau ketepatan waktu untuk membayar pokok dan bunga.
Salah satu emiten yang tengah melakukan proses restrukturisasi obligasi jatuh temponya adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk alias GIAA. Emiten pelat merah itu tercatat memiliki kewajiban atas sukuk global senilai US$500 juta.
Adapun per 19 Mei 2020 lalu, GIAA mengajukan proposal perpanjangan waktu pelunasan sukuk yang seharusnya jatuh tempo pada 3 Juni ini dan disambut baik oleh para pemegang sukuk.
Berdasarkan keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga masa berakhirnya waktu early consent fee pada 1 Juni 2020, suara yang memberikan persetujuan proposal mencapai US$444,98 juta. Jumlah suara ini mewakili 89 persen seluruh pokok sukuk.