Bisnis.com, JAKARTA - Rasio pembayaran dividen dengan nominal yang cukup besar umumnya menjadi salah satu magnet investor untuk berpihak kepada saham-saham sektor pertambangan.Kemunculan tantangan bisnis sejak tahun lalu akan menjadi penghambat emiten dalam mempertahankan pembagian dividen dalam jumlah besar kepada pemegang saham.
Berdasarkan catatan Bisnis, terdapat tiga emiten tambang yang menurunkan setoran dividen untuk kinerja tahun buku 2019, yaitu PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), PT Indika Energy Tbk. (INDY), dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS).
PGAS memutuskan pembagian dividen tahun buku 2019 senilai Rp1,00 triliun atau Rp41,56 per lembar. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan dividen tunai 2018 sebesar Rp1,38 triliun atau Rp56,99 per lembar.
Kemudian, ITMG hanya membagikan dividen final Rp570 per saham. Jika digabungkan dengan pembagian dividen interim yang dibayarkan pada November 2019, maka total DPS emiten berkode saham ITMG tersebut berada di posisi Rp1.275 dengan DPR sebesar 75 persen.
Rasio itu pun lebih rendah dibandingkan dengan DPR 2018, yaitu 101 persen dengan total dividen hingga Rp3.465. Jumlah tersebut juga lebih rendah dari rata-rata 10 tahun terakhir di 92 persen.
Selain itu, INDY membagikan dividen tunai US$30 juta untuk buku tahun 2019 dengan menggunakan laba ditahan. INDY yang tetap membagikan dividen kendari merugi mencatat penurunan dividen per saham menjadi Rp89,63 dibandingkan dengan 2018 sebesar Rp163,09.
Baca Juga
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji mengatakan bahwa tren penurunan pembagian dividen oleh sektor tambang akan terus berlanjut. Dia beralasan, kinerja emiten pertambangan tergantung pada pergerakan harga komoditas.
“Harga komoditas yang rendah akibat over supply telah mempengaruhi penurunan kinerja fundamental emiten pertambangan, dan itulah yang akan mempengaruhi penurunan pembagian dividen ke depannya,” ujar Nafan kepada Bisnis, Kamis (28/5/2020).
Senior Vice President Research PT Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial menjelaskan bahwa ke depan investor cenderung lebih memperhatikan faktor besaran dividen emiten sektor tambang, sebelum mengoleksi saham-sahamnya.
Prospek sektor pertambangan, khususnya batu bara, diyakini cukup berat pasca Covid-19. Ke depan, pasar dinilai akan lebih memperhatikan konsep hidup hijau atau bisnis yang lebih ramah lingkungan sehingga akan sangat sulit bagi sektor batu bara untuk tetap menjadi pilihan terbaik bagi investor.
Emiten sektor tambang logam seperti nikel barangkali bisa menjadi pengecualiaan. Janson menyebut nikel memiliki nilai plus karena dibutuhkan sebagai bahan baku baterai mobil listrik atau mobil ramah lingkungan. Walhasil, emiten yang terkait dengan nikel kemungkinan akan tetap dinilai menarik untuk dikoleksi oleh para investor.
“Ke depan, everything is about eco-friendly business. Berdasarkan itu, sektor batu bara nantinya akan lebih bertumpu kepada pembagian dividen yang lebih besar rasionya dibandingkan dengan sektor-sektor lain,” ujar Janson kepada Bisnis, Kamis (28/5/2020).
Di sisi lain, Janson menjelaskan bahwa investor juga harus tetap memperhatikan kualitas neraca keuangan setiap emiten untuk menjadi pertimbangan sebelum memutuskan keberpihakannya terhadap emiten sektor tambang.
Dengan demikian, dia merekomendasikan saham-saham yang memiliki cadangan kas baik dan kadar utang rendah seperti ITMG, ADRO, dan PTBA.
Sementara itu, untuk sektor tambang Nafan merekomendasikan saham ITMG, INDY, UNTR, PTBA, dan PGAS.