Bisnis.com, JAKARTA - Emiten tambang batu bara PT Bayan Resources Tbk. diproyeksi mengalami penurunan produksi sekitar 2 juta ton seiring dengan pemberhentian sementara aktivitas di tiga lokasi tambang. Penghentian sementara berlangsung pada 25 Maret 2020 hingga 30 April 2020..
Mengutip keterangan resmi S&P Global Rating, pihaknya memperkirakan emiten berkode saham BYAN itu akan mengalami penurunan produksi cukup signifikan apalagi jika penangguhan aktivitas tambang itu diperpanjang hingga lebih dari tiga bulan.
“Kami memproyeksikan produksi batubara akan turun di bawah 30 juta ton pada tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun lalu sebesar 32 juta ton pada tahun,” tulis S&P Global Rating seperti dikutip dari keterangan resminya, Selasa (14/4/2020).
Selain itu, dari sisi permintaan pun tampak tidak berpihak bagi BYAN. India yang menjadi pembeli batu bara terbesar bagi BYAN, yaitu menyumbang 25 persen dari total volume penjualan perseroan hingga 31 Desember 2019, mengalami pelemahan permintaan akibat penutupan industri konsumsi batu bara.
Permintaan batu bara lungsur akibat sentimen penyebaran Covid-19. Permintaan dari Filipina, Thailand, dan Vietnam pun tampak tetap tidak bergairah karena pandemi itu.
Kendati demikian, emiten tambang berkapitalisasi pasar terbesar di Indonesia itu telah mengantongi kontrak penjualan hingga 29,6 juta ton untuk tahun ini, pemenuhan kontrak-kontrak itu tetap tidak pasti dalam situasi saat ini.
S&P Global Rating pun memperkirakan BYAN akan menggunakan inventori batu baranya sekitar 6 juta ton, sehingga volume penjualan sebagian besar tidak berubah.
Sementara itu, dengan rata-rata cash cost production BYAN tahun ini di kisaran US$32 per ton, EBITDA per ton diperkirakan turun menjadi di bawah US$7, dibandingkan dengan tahun lalu di kisaran US$12,6.
Dengan demikian, EBITDA perseroan akan kurang dari US$250 juta berdasarkan realisasi harga US$39 per ton pada 2020 dibandingkan dengan harga batu bara benchmark Newcastle di level US$65 per ton.
Adapun, perseroan menargetkan pendapatan pada tahun ini berada di kisaran US$1,4 miliar hingga US$1,6 miliar dengan EBITDA diperkirakan berada di kisaran US$320 miliar hingga US$350 miliar.
Di sisi lain, pembatasan sosial dan perjalanan lebih lanjut dapat menunda ekspansi perseroan dan penyelesaian jalan angkut Mahakam, yang masih menunggu persetujuan izin lahan.
Namun, S&P Global Rating menilai likuiditas BYAN tetap memadai untuk menahan penurunan arus kas operasi. Untuk diketahui, perseroan pada awal tahun ini telah menerbitkan obligasi senilai US$400 juta dan memiliki saldo tunai US$175 juta pada akhir 2019.
“Karena itu, hutang bersih Bayan akan meningkat pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019. Kami percaya perusahaan dapat kembali ke posisi kas bersih pada tahun 2022. Dalam pandangan kami, Bayan memiliki fleksibilitas untuk mengurangi pembayaran dividen untuk menopang likuiditas, jika diperlukan,” tulis S&P Global Rating.