Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Alami Penurunan Kuartalan Terbesar Sepanjang Sejarah

Pada kuartal pertama tahun ini harga minyak jenis WTI telah terkoreksi hingga 67,43 persen dan parkir di level US$20,48 per barel pada akhir Maret 2020.
Kilang Minyak/Bloomberg
Kilang Minyak/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mencatatkan kinerja kuartalan terburuk sepanjang sejarah didorong oleh sentimen penyebaran virus corona atau COVID-19 yang telah menghancurkan prospek permintaan.

Tidak hanya itu, sentimen juga meningkatkan kekhawatiran pasar tentang tidak cukupnya kilang untuk menampung minyak di tengah membludaknya pasokan akibat perang harga antara Arab Saudi dan Rusia.

Berdasarkan data Bloomberg, pada kuartal pertama tahun ini harga minyak jenis WTI telah terkoreksi hingga 67,43 persen dan parkir di level US$20,48 per barel pada akhir Maret 2020.

Sementara itu, harga minyak jenis Brent terkoreksi 66,77 persen sepanjang kuartal pertama tahun ini dan parkir di level US$22,74 per barel pada penutupan perdagangan Maret 2020.

Minyak yang sempat bergerak cukup stabil di kisaran level US$60 per barel pada awal tahun ini, hancur dan terus menurun ketika banyak negara menerapkan lockdown dan membatasi perjalanan untuk menekan penyebaran virus corona atau COVID-19.

Akibatnya, tidak sedikit analis yang langsung memangkas proyeksi permintaan dan harga minyak pada tahun ini. Goldman Sachs memangkas proyeksi permintaan minyak tahun ini turun sebanyak 10 hingga 20 juta barel per hari dan harga bergerak di kisaran US$20 per barel pada kuartal kedua tahun ini.

Standard Chartered Plc pun memprediksikan harga minyak akan jatuh lebih dalam dari US$20 per barel pada kuartal berikutnya.

Selain itu, penyedia informasi global yang berbasis di London, IHS Markit, memperkirakan produksi minyak dunia akan terpangkas sebanyak 10 juta barel per hari mulai April hingga Juni 2020 dan harga minyak Brent berjangka akan turun menjadi sekitar US$10 per barel pada April.

Proyeksi permintaan yang buruk tersebut kemudian diperparah oleh pecahnya kongsi antara Arab Saudi dengan Rusia sehingga menyebabkan perang harga antara kedua produsen minyak itu.

Kedua negara itu berjanji akan menggenjot produksi minyaknya di tengah pelemahan permintaan yang mendorong pasar minyak saat ini dibanjiri oleh pasokan. Sentimen tersebut pun mendorong harga minyak sempat anjlok ke level US$19,27 per barel, level terendahnya sejak 2002.

Selain itu, di Amerika Serikat stok minyak terus membukukan kenaikan, dengan data dari American Petroleum Institute (API), stok naik 10,5 juta barel pada pekan lalu. Jika dikonfirmasi oleh data Administrasi Informasi Energi AS, maka stok minyak mentah AS akan menjadi yang terbesar sejak Februari 2017.

Kilang di India, yang menjadi importir minyak mentah terbesar ketiga di dunia, tengah bersiap untuk memangkas tingkat pemrosesan hingga 50 persen, menurut perkiraan dari salah satu pemasok terbesar negara itu.

Mengutip riset terbaru Standard Chartered, tangki-tangki minyak di seluruh dunia dapat terisi penuh dalam enam pekan ke depan yang memungkinkan para produsen menghentikan produksi secara signifikan.

“Peningkatan inventaris yang besar, berpotensi melemahkan kapasitas penyimpanan cadangan, berarti bahwa keseimbangan pasar memerlukan penghentian produksi yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh para produsen,” tulis Standard Chartered seperti dikutip dari publikasi risetnya, Rabu (1/4/2020).

Presiden Direktur OTC Futures Mike Hiley mengatakan minyak akan terus terjebak dalam guncangan penawaran dan permintaan secara simultan. Stimulus tidak terlalu membantu masalah karena orang-orang mengurangi aktivitas bepergian dengan kendaraan.

"Kami belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya," kata Mike, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (1/4/2020).

Analis Monex Investindo Futures Ahmad Yudiawan mengatakan bahwa sentimen utama pasar minyak adalah kekhawatiran kelebihan pasokan sehingga kilang pun diyakini tidak dapat menampung banjirnya pasokan di seluruh dunia.

“Harga minyak berpeluang bergerak turun menguji level support US$20,35 per barel, selama harga tidak mampu menembus level resisten di US$20,85 per barel. penurunan lebih dalam dari level support tersebut berpeluang menekan harga minyak menguji support selanjutnya di US$20,1 per barel dan US$19,05 per barel,” ujar Yudi seperti dikutip dari publikasi risetnya, Rabu (1/4/2020).

Namun bila bergerak naik, lanjut Yudi, maka harga minyak berpeluang menguji level resisten di US$20,85 per barel, kenaikan lebih lanjut dari level tersebut berpotensi menopang harga minyak menguji level resisten selanjutnya di US$21,05 dan US$21,3 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper