Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Amerika Serikat terbenam di zona merah pada akhir perdagangan Selasa (31/3/2020), di tengah pandemi virus corona (Covid-19) yang hampir pasti menjerumuskan ekonomi Amerika ke dalam resesi.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks S&P 500 berakhir merosot 1,60 persen ke level 2.584,59, indeks Dow Jones Industrial Average turun tajam 1,84 persen ke posisi 21.917,16, dan indeks Nasdaq Composite ditutup melemah 0,95 persen ke level 7.700,10.
Padahal, pada perdagangan Senin (30/3/2020), ketiga indeks saham utama Wall Street tersebut mampu membukukan lonjakan sebesar lebih dari 3 persen masing-masing.
Pelemahan yang dialami pada Selasa menggelembungkan koreksi Dow Jones kuartal ini ke level yang belum pernah terlihat sejak tahun 1987. Sepanjang kuartal I/2020, indeks saham blue-chip tersebut telah terjerembap 23 persen.
Indeks S&P 500 bernasib sedikit lebih baik meskipun relinya terhenti pada Selasa. Adapun Nasdaq membukukan koreksi terkecil di antara ketiga indeks utama, karena pembeli menargetkan perusahaan-perusahaan teknologi ternama.
Investor Dow Jones seakan hampir tidak memiliki tempat untuk bersembunyi karena hanya satu dari 30 anggota emiten yang tercatat di dalamnya berakhir di posisi lebih tinggi untuk sepanjang tahun ini.
Baca Juga
Saham Boeing jatuh 54 persen, sedangkan saham Chevron dan Exxon anjlok setidaknya 39 persen setelah minyak mengalami penurunan kuartalan terburuk dalam sejarah. Namun saham Microsoft mampu berakhir lebih tinggi 0,01 persen.
Aset-aset berisiko di seluruh dunia bertumbangan pada periode tersebut ketika pemerintah negara-negara melancarkan langkah shutdown yang belum pernah dilakukan sebelumnya guna memerangi penyebaran virus corona yang mematikan.
Meski pengeluaran pemerintah dan stimulus moneter mampu mengangkat indeks saham dari kemerosotan yang mencapai 33 persen, pukulannya terhadap PDB (produk domestik bruto) menjadi monumental. Goldman Sachs kini memperkirakan kontraksi 34 persen pada kuartal kedua sebelum mengalami rebound tajam.
Pada Selasa, investor mencermati tanda-tanda bahwa Kongres AS dapat memberikan putaran keempat stimulus saat virus corona menyebar lebih luas di Negeri Paman Sam ini.
Kendati demikian, investor juga mempertanyakan apakah stimulus luar biasa oleh banyak negara dan bank-bank sentral di dunia dapat mengimbangi upaya penghematan lebih lanjut dari banyak perusahaan dan konsumen di tengah pandemi corona.
New York City, yang muncul sebagai pusat pandemi baru virus mematikan tersebut, melaporkan peningkatan angka kematian sebesar 16 persen dalam enam jam.
Di sisi lain, Italia dan Belanda sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang lockdown. Selain itu, Spanyol mencatat 849 korban jiwa, angka kematian terbesar dalam satu hari untuk Negeri Matador.
"Pergerakan pasar baru-baru ini mencerminkan upaya untuk memperhitungkan apa yang telah terjadi di sisi pengendalian pandemi dan langkah-langkah stimulus,” tutur Cameron Brandt, direktur riset di EPFR.
"Hampir pasti bahwa kita akan terus melihat volatilitas,” imbuhnya, seperti dilansir dari Bloomberg.
Pada Selasa (31/3), Biro Statistik Nasional (NBS) China merilis Purchasing Managers’ Index (PMI) naik ke angka 52,0 pada Maret 2020 dari rekor terendah 35,7 pada Februari. PMI di atas 50 mengindikasikan perbaikan kondisi.
Meski peningkatan aktivitas manufaktur mengindikasikan sentimen yang lebih baik di pabrik-pabrik China, output tetap jauh dari normal. China diperkirakan masih akan mengalami kontraksi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya pada kuartal ini.
Pergerakan Bursa Wall Street 31 Maret | ||
---|---|---|
Indeks | Level | Perubahan (persen) |
Dow Jones | 21.917,16 | -1,84 |
S&P 500 | 2.584,59 | -1,60 |
Nasdaq | 7.700,10 | -0,95 |
Sumber: Bloomberg