Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlanjut pada akhir perdagangan hari kedua berturut-turut, Selasa (24/3/2020).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pergerakan IHSG ditutup di level 3.937,63 dengan penurunan 1,3 persen atau 51,88 poin dari level penutupan perdagangan sebelumnya.
Pada perdagangan Senin (23/3/2020), IHSG berakhir di level 3.989,52 dengan koreksi tajam 4,90 persen atau 205,43 poin.
Padahal, indeks sempat rebound ke zona hijau dan melonjak pada awal perdagangan Selasa sebelum kemudian kembali bergerak negatif. Sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak fluktuatif di kisaran 3.911,72-4.123,56.
Sebanyak 8 dari 10 sektor dalam IHSG melemah, dipimpin aneka industri (-4,57 persen) dan properti (-2,92 persen). Adapun sektor pertambangan dan pertanian masing-masing mampu naik 3,64 persen dan 1,06 persen.
Kepala Riset Mirae Sekuritas Hariyanto Wijaya mengatakan IHSG masih dalam tren melemah. Kondisi itu menurutnya akan bertahan hingga Mei 2020.
Baca Juga
“Saya memperkirakan tren melemah IHSG akan terus berlanjut sampai dengan Mei 2020,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (24/3/2020).
Hariyanto menjelaskan bahwa IHSG memasuki tren bear market sejak pekan lalu. Kondisi itu dipicu risk off karena meningkatnya kasus Covid-19.
Senada dengan Hariyanto, Analis Kresna Sekuritas Etta Rusdiana Putra menjelaskan bahwa faktor likuiditas dan kepanikan masih menjadi penekan indeks. Pihaknya mengatakan krisis yang terjadi saat ini dipicu kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus corona.
Kondisi itu memaksa pengurangan aktivitas di level global. Dampak covid-19 terhadap kondisi finansial emiten kemungkinan baru dapat dipahami lebih baik setelah rilis laporan keuangan kuartal I/2020.
Berbanding terbalik dengan IHSG, rata-rata indeks saham lainnya di Asia mampu bangkit ke zona hijau bahkan membukukan kenaikan tajam setelah terbenam di zona merah pada perdagangan Senin (23/3/2020).
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Shanghai Composite dan CSI 300 China masing-masing melesat 2,34 persen dan 2,69 persen, sedangkan Hang Seng Hong Kong berakhir melonjak 4,46 persen.
Adapun, indeks Taiex Taiwan melonjak 4,45 persen, bahkan indeks Kospi Korea Selatan ditutup meroket hampir 9 persen setelah anjlok 5,34 persen pada Senin.
Kenaikan tajam juga dialami indeks saham di Asia Tenggara, seperti FTSE Straits Times yang naik tajam 6,21 persen dan indeks FTSE KLCI Malaysia yang menguat 2,48 persen.
Di sisi lain, dolar AS melemah terhadap sejumlah mata uang negara maju dan berkembang, menunjukkan tanda-tanda tentatif dari berkurangnya tekanan setelah terapresiasi tajam sejak krisis keuangan global.
Pelemahan dolar AS turut mendongkrak nilai tukar rupiah rebound dan ditutup terapresiasi 75 poin atau 0,45 persen ke level Rp16.500 per dolar AS, mematahkan rentetan pelemahan beruntun sebelumnya.
Nasib dolar AS berubah drastis setelah bank sentral Federal Reserve AS mengumumkan stimulus terbaru, yang mendorong pelaku pasar memburu aset-aset berisiko dan melepaskan greenback.
Pada Senin (23/3/2020), The Fed mengumumkan gelombang inisiatif kedua bernilai besar-besaran untuk mendukung perekonomian AS.
Inisiatif yang dimaksud mencakup pembelian obligasi dalam jumlah tak terbatas guna menjaga biaya pinjaman tetap rendah serta menyiapkan program-program guna memastikan aliran kredit ke perusahaan-perusahaan juga pemerintah negara bagian dan lokal.
The Fed menyebutkan akan membeli obligasi Treasury dan surat berharga berbasis mortgage yang dikeluarkan badan pemerintah (agency mortgage-backed securities/MBS).
Baik obligasi Treasury dan agency MBS akan dibeli dalam jumlah yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar dan transmisi kebijakan moneter yang efektif ke kondisi keuangan dan ekonomi yang lebih luas.
"Pasar akan mulai merasakan gelombang penuh likuiditas yang disediakan The Fed saat ini," tutur Nathan Sheets, kepala penelitian ekonomi makro di PGIM Fixed Income, seperti dilansir dari Bloomberg.
Namun, dari sisi fiskal, upaya sejumlah negara masih mandek. Kongres AS sejauh ini belum juga menemukan kesepakatan yang menuntaskan perbedaan pandangan kubu Demokrat dan Republik di dalamnya.
Berdasarkan pengalaman ketidakpastian yang tak menentu, sebagian pelaku pasar memutuskan untuk mengambil sikap wait and see.
“Ada kemungkinan terjadi lebih banyak penurunan. Tidak terlalu banyak penurunan di titik ini, tetapi masih sedikit terlalu dini untuk mengharapkan segala sesuatu akan naik,” tutur Jingyi Pan, ahli strategi di IG Asia Pte di Singapura, kepada Bloomberg TV.