Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah merosot seiring dengan akibat belum adanya kejelasan sikap Rusia yang akan menyetujui atau menolak usulan OPEC soal pemangkasan produksi dalam jumlah yang besar.
Pemangkasan produksi bertujuan menahan suplai sekaligus mengimbangi lesunya permintaan akibat dampak wabah penyakit virus corona (Covid-19).
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (6/3) pukul 16:57 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak April 2020 turun 2,4 persen atau 1,1 poin menjadi US$44,8 per barel.
Dalam waktu yang sama, harga minyak Brent kontrak April 2020 merosot 2,62 persen atau 1,31 poin menjadi US$46,68 per barel. Harga minyak Brent pun berada di bawah US$50 per barel untuk pertama kalinya sejak Juli 2017. Sepanjang tahun berjalan, harga merosot 26,24 persen.
Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan ada dua faktor yang menekan harga minyak pada akhir pekan. Pertama, dampak ekonomi akibat penyebaran virus corona yang menyebabkan permintaan minyak menurun.
Kedua, sikap Rusia yang belum mau bergabung dengan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi. Sebelumnya OPEC dan negara sekutu produsen minyak lainnya sudah menyetujui pengurangan pasokan sejumlah 1,5 juta barel per hari hingga akhir tahun ini.
Baca Juga
“Saat ini, pelaku pasar menunggu sikap Rusia yang dijadwalkan kembali bertemu OPEC. Namun, ada kemungkinan dengan harga yang semakin mendekati US$40 per barel, Rusia mau tidak mau ikut dengan kesepakatan pemangkasan produksi,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Jumat (6/3/2020).
Fundamental minyak pun belum lepas dari tekanan begitu saja jika Rusia setuju ikut memangkas produksi. Pasalnya, volume permintaan global yang menurun turut menjadi kunci agar harga kembali pulih.
Oleh karena itu, sambung Faisyal, pelaku pasar juga memantau sikap negara-negara maju dalam memberikan stimulus dan kebijakan moneter untuk menangkal dampak ekonomi virus corona. Diharapkan sentimen tersebut mampu kembali menggerakkan roda perekonomian, sehingga mengerek permintaan minyak.
Sampai pekan depan, dia memprediksi batas bawah harga minyak WTI di level US$40,3 per barel. Adapun, batas atas harga hanya mencapai US$48,40 per barel, alias belum akan melaju terlalu tinggi.
Tekanan terhadap harga juga datang dari Amerika Serikat, karena data persediaan minyak secara mingguannya cenderung mengalami peningkatan.
“Kalau komoditas minyak, orang lebih melihatnya sentimen suplai dan permintaan. Kalau Rusia dan negara produsen lain tidak mendukung, stimulus belum berpengaruh terhadap permintaan, maka harga masih dalam tekanan,” jelasnya.
Dikutip dari Bloomberg, Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo menyampaikan komitmen kartel minyak sebesar 1,5 juta barel per hari bertujuan untuk menstabilkan suplai pasar minyak. Namun, sentimen komoditas tersebut masih tetap rapuh.
Kebutuhan bagi OPEC dan aliansinya (OPEC+) untuk membatasi pasokan akan lebih mendesak tahun ini. Pasalnya, pasar global terbebani kekhawatiran akan wabah virus corona yang juga mengurangi permintaan minyak.
“OPEC memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak hanya sebesar 480.000 barel per hari tahun ini, turun dari perkiraan 990.000 barel yang dibuat bulan lalu,” paparnya.
Bank-bank besar dan konsultan di Wall Street bahkan mengantisipasi permintaan minyak global yang berkontraksi pada 2020, untuk keempat kalinya dalam hampir empat dekade. Pengurangan pasokan juga masih bergantung pada dukungan Rusia, yang sejauh ini belum terbukti.
“Ada banyak skeptisisme tentang kerja sama Rusia dan hal itu menyebabkan kesulitan di pasar. Ada risiko signifikan bahwa harga minyak bisa bergerak lebih rendah dari titik ini,” ujar Rob Haworth, ahli strategi investasi senior di US Bank Wealth Management.