Bisnis.com, JAKARTA – Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia terdapat 10 emisi surat utang senilai Rp13,66 triliun. Tiga diantaranya berasal dari emiten perkebunan.
PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO) tercatat menerbitkan obligasi dan sukuk ijarah senilai Rp600 miliar dengan kupon bunga 9,35 persen. Kedua adalah PT Tunas Baru Lampung Tbk. (TBLA) yang bakal menerbitkan obligasi senilai Rp500 miliar dengan kupon bunga 8,90 persen dan 9,75 persen.
Terakhir adalah PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) yang menerbitkan obligasi senilai Rp1 triliun. Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia, Ramdhan Ario Maruto mengatakan secara industri, sektor perkebunan masih belum membaik karena volatilitas harga.
Oleh sebab itu, dia menilai penerbitan surat utang yang bakal diterbitkan oleh emiten perkebunan membutuhkan cost of fund yang tinggi. Ramdhan menilai kupon bunga di bawah 9 persen akan sulit diserap oleh pasar.
“Cost of fund penerbitan akan selalu tinggi di atas 9 persen. Pasalnya, dibandingkan dengan sektor lain perkebunan memiliki risiko yang besar maka pasar meminta kupon tinggi,” katanya pada Rabu (4/3/2020). Adapun penerbitan, lanjutnya, kebanyakan untuk membiayai kembali utang bank.
Di sisi lain, Head Investor Relations Sampoerna Agro Michael Kesuma mengatakan aksi penggalangan dana perseroan telah rampung. Perseroan, lanjutnya, sudah mengantongi dana segar Rp600 miliar melalui penerbitan obligasi dan sukuk ijarah.
Baca Juga
“Untuk sukuk ijarah dan obligasi semuanya sudah terpenuhi,” katanya kepada Bisnis.com pada Rabu (4/3/2020).
Dana yang diperoleh dari sukuk ijarah akan dipergunakan oleh perseroan sebesar 100 persen untuk melunasi sisa pokok pinjaman bank.
Adapun, sekitar 65 persen dana hasil obligasi akan dipakai oleh SGRO untuk melakukan pelunasan lebih awal sebagian pokok utang bank. Sisanya sekitar 35 persen dipakaiuntuk membiayai kebutuhan modal kerja.
Sementara itu, penerbitan surat utang jumbo senilai Rp1 triliun oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) mendapatkan penilaian positif.
Direktur Sinarmas Sekuritas, Kerry Rusli selaku penjamin pelaksana emisi efek mengatakan sejauh ini belum ada pembeli tetap bagi surat utang yang bakal diterbitkan itu. Saat ini, lanjutnya, masih dalam tahap bookbuilding.
Meski demikian, Kerry menilai surat utang yang diterbitkan pada awal tahun ini khususnya untuk emiten sektor perkebunan masih terbilang menarik. Pasalnya, pada kuartal I/2020 saja sudah ada tiga emiten yang bakal menerbitkan surat utang.
“[Penerbitan surat utang] masih bagus,” katanya.
Rencananya, SMAR akan menerbitkan surat utang senilai Rp1 triliun. Perseroan akan menggunakan dana itu untuk meningkatkan kapasitas produksi biodiesel. PT Peringkat Efek Indonesia (PEFINDO) memberikan peringkat A+ untuk obligasi yang akan diterbitkan.
Analis Pefindo Christyanto Wijaya mengatakan rating itu diberikan karena bisnis model yang dijalankan oleh SMAR terintegrasi dari hulu ke hilir. Dengan begitu, SMAR memperoleh pendapatan yang beragam dari produk refinery.
“Kami juga melihat permintaan crude palm oil yang tinggi disebabkan program B30. Setidaknya akan ada tambahan sebesar 3 juta ton tahun ini dan itu mengerek harga,” katanya.
Adapun faktor yang beresiko adalah struktur permodalan yang besar membuat rasio debt to Ebitda SMAR sebesar 7 kali per kuartal III/2019. Menurutnya dari total utang Rp12,7 triliun, sekitar Rp6,2 triliun merupakan utang jangka pendek.
Chrisyanto menilai rasio debt to Ebitda akan sekitar 5,7 kali dalam tiga tahun ke depan. “Kami melihat total utang SMAR dalam tiga tahun ke depan akan tinggi karena butuh modal kerja yang besar. Di sisi lain, SMAR juga berniat menambah utang baru sebesar Rp1 triliun,” ungkapnya.
Pada penutupan hari ini SMAR ditutup melemah 20 poin atau 0,55 persen ke level Rp3.610 per saham. Bloomberg mencatat price earning ratio (PER) perseroan sebesar 9,28 dengan dividen mencapai 20,78 persen.