Bisnis.com, JAKARTA – Maybank Kim Eng Sekuritas menilai kompetisi antarbank pada tahun ini akan semakin ketat seiring persaingan penghimpunan dana dan ekspansi penyaluran kredit yang kian sengit.
Dalam lapran risetnya, Analis Maybank Kim Eng Sekuritas Rahmi Marlina menuturkan kinerja keuangan perbankan di Indonesia sejauh ini sejalan dengan estimasi Maybank Kim Eng, kecuali PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Dari seluruh bank dalam coverage Maybank Kim Eng, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dinilai sebagai emiten bank terbaik.
Menurut Rahmi, banyak bank yang mampu mencatat pertumbuhan pangsa pasar kredit pada 2019. Tapi, hanya BNI yang bisa mencetak pertumbuhan kredit dengan kualitas yang terjaga plus peningkatan rasio dana murah.
Berdasarkan hal itu, Maybank Kim Eng tetap memberikan rekomendasi beli untuk BBNI dengan target harga pada akhir tahun ini sebesar Rp9.500 per lembar saham. Saham BBNI saat ini dinilai sebagai yang termurah di antara bank papan atas di Indonesia.
Maybank Kim Eng mengestimasi return on equity (ROE) BNI pada 2020—2021 bakal berada di kisaran 15,4 persen. Proyeksi ini juga telah memperhitungkan dampak penerapan IFRS 9 terhadap pendapatan dengan asumsi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) lebih tinggi
“Saham BBNI diperdagangkan pada 1,2 kali estimasi price to book value (P/BV) 2020, yang kami pikir sangat undevalued. Risk rewads masih sangat menarik bahkan setelah penyesuaian untuk implementasi IFRS 9,” tulisnya dalam riset, dikutip pada Senin (10/2/2020).
Baca Juga
Berdasarkan laporan keuangan 2019, hanya PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) yang performanya dinilai berada di bawah ekspektasi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan beban provisi sebesar 179 persen secara tahunan yang menghapus hampir seluruhnya ROE perseroan pada 2019.
Tekanan terhadap ROE juga diperkirakan akan terjadi pada bank-bank lain. Bukan disebabkan oleh beban provisi, hal ini akan terjadi pada bank lain karena peningkatan biaya dana. Ketatnya likuiditas perbankan menyebabkan panasnya persaingan penghimpunan dana.
“Kami memperkirakan tingginya beban pendanaan masih berlanjut pada 2020 karena ada potensi peningkatan permintaan kredit, khususnya untuk kebutuhan kredit investasi dan kredit modal kerja. Dengan pertumbuhan CASA rendah, banyak bank akan bergeser ke dana mahal seperti deposito dan wholesale funding, selayaknya pada 2019,” tulisnya.
Hingga November 2019, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya tumbuh 6,7 persen secara tahunan. Hal ini membuat rasio kredit terhadap DPK masih bertahan pada level yang cukup tinggi, yakni 93 persen.