Bisnis.com, JAKARTA - Rencana penetapan harga gas industri sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 40 tahun 2016 yang ditargetkan berlaku pada 1 April 2020, diyakini akan menggerus margin emiten distributor, PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS)
Analis Kresna Securites Timothy Gracianov dalam publikasi risetnya mengatakan bahwa penetapan harga gas industri lebih rendah di kisaran US$6 per mmbtu tanpa adanya subsidi dari pemerintah akan menjadi skenario terburuk bagi kinerja perseroan ke depannya.
Dia memperkirakan sepanjang 2020 rata-rata harga jual atau average selling price (ASP) gas tergerus menjadi US$7,8 per mmbtu dari sebelumnya sebesar US$8,6 per mmbtu pada kuartal III/2019.
“Akibatnya, perseroan berpotensi kehilangan pendapatan sekitar 8 persen atau US$230 juta,” ujar Timothhy seperti dikutip dari publikasi risetnya, Rabu (5/2/2020).
Jika diterjemahkan ke nilai wajar baru harga saham, pihaknya akan menandai saham di kisaran Rp1.300 per saham untuk mempertahankan EV / EBITDA untuk segmen distribusi dan transmisi di level 6,0 kali.
Pada penutupan perdagangan Rabu (5/2/2020), saham PGAS turun 2,96 persen atau 45 poin menjadi Rp1.475, setelah bergerak di rentang Rp1.445—Rp1.585. Sepanjang tahun berjalan harga terkoreksi 32,03 persen.
Baca Juga
Timothy menilai penyesuaian harga gas industri, yang akan mengurangi margin perseroan, mungkin tidak dapat dihindari. Namun, ada beberapa skema berapa yang masih bisa dinegosiasikan.
Pihaknya menilai terdapat tiga opsi yang dapat dilakukan PGAS untuk mengatasi hal tersebut. Pertama, membedah komponen harga industri gas untuk pipa gas dengan metode pemulihan biaya.
Pemulihan biaya mencakup biaya operasi dan belanja modal yang diperlukan untuk produksi hulu, bagian laba kontraktor, bagian laba pemerintah sebesar US$2,2 per mmbtu dari PNBP dan PPh, biaya transmisi gas, serta biaya distribusi dan perdagangan gas.
“Dengan kata lain, pemerintah dapat dengan murah hati menutupi jatuhnya harga gas meskipun membiarkan PGN menanggung kerugian sendiri,” jelas dia.
Dengan asumsi pemerintah memberikan kontribusi US$1 per mmbtu sebagai subsidi, itu akan memberikan penghematan kepada perseroan sekitar US$107 juta atau sebesar 4 persen dari estimasi pendapatan pada 2020 yang dapat mengembalikan nilai wajar menjadi Rp1.750 per saham.
Hal tersebut juga dapat mempertahankan EV/ EBITDA perseroan di kisaran 6,0 kali untuk segmen distribusi dan transmisi (D&T).
Kedua, membangun Obligasi Pasar Domestik (DMO) atau mengharuskan KKKS untuk menempatkan penawaran prioritas untuk LNG ke PGN dengan harga lelang spot.
Ketiga, mengimpor gas. Kendati demikian, Timothy menghiraukan opsi ketiga tersebut mengingat pemerintah terus berupaya untuk menjaga defisit transaksi berjalan (CAD).
Dengan demikian, Timothy melihat peluang yang lebih tinggi bahwa pemerintah akan memberikan subsidi dengan memotong porsi pendapatan negara dari harga hulu sekitar US$1 per mmbtu, yang bisa menghemat estimasi pendapatan perseroan sekitar US$107 juta.
“Dari sisi probabilitas, kami melihat peluang opsi pertama lebih besar, yaitu 60 persen, 35 persen opsi kedua, dan hanya 5 persen untuk opsi ketiga,” imbuhnya.