Bisnis.com, JAKARTA – Memasuki 2020 indeks harga saham gabungan (IHSG) langsung mendapat tekanan dari global akibat serangan yang dilakukan AS terhadap Iran. Walau begitu, ke depan pasar saham diperkirakan akan bangkit, dengan beberapa faktor pendukung.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (10/1), IHSG ditutup naik tipis 0,01 persen atau 0,45 poin di level 6.274,94. Secara year to date, indeks terkoreksi 0,39 persen, namun dalam setahun terakhir IHSG tecatat naik 1,7 persen.
Menurut Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi, pasar saham akan mendapat sentimen positif dari kinerja emiten yang diperkirakan akan lebih baik pada 2020.
Bila pada tahun lalu laba bersih emiten tumbuh rata-rata sekitar 2 persen, maka pada tahun ini diperkirakan akan naik pada kisaran 9 persen, yang terjadi di hampir seluruh sektor kecuali sektor batu bara yang masih akan mendapat tekanan dari rendahnya harga batubara di pasar global.
“Bila dibandingkan dengan pasar surat utang dan juga properti, pasar saham masih menawarkan gain yang lebih baik. Pasalnya dengan level suku bunga acuan dan infasi yang terjaga rendah, yield surat hutang diperkirakan tidak akan mengalami banyak kenaikan, bahkan malah cenderung turun. Apalagi the Fed telah memberikan indikasi suku bunga yang tidak akan turun lagi pada tahun ini,” tulisnya dalam riset yang diterima Bisnis, Minggu (12/1/2020).
Sejalan dengan suku bunga global, katanya, Bank Indonesia juga telah memberikan sinyal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
Baca Juga
Bank sentral telah menurunkan suku bunga BI 7-day reserve rapo rate secara total sebesar 1 persen sejak Juli hingga Oktober ke level 5 persen dan bertahan hingga Desember 2019, dengan tingkat inflasi sepanjang 2019 sebesar 2,72 persen. Saat ini rata-rata yield surat hutang berada pada kisaran 7 persen.
‘’Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini,’’ ujar Lucky.
Ia menambahkan bahwa turunnya suku bunga, yang diikuti dengan realisasi kebijakan omnibus law akan mampu menggenjot masuknya investasi, yang pada akhirnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.
Penopang lainnya yang membuat pasar saham akan lebih bergairah pada tahun ini adalah rencana kenaikan pajak reksadana atau mutual fund menjadi 10 persen dari yang saat ini berlaku sebesar 5 persen. Semula kenaikan pajak reksadana direncanakan pada 2014, namun kenaikan tersebut tertunda.
Menurut Lucky, rencana kenaikan pada 2021 ini, kemungkinan tidak akan mundur lagi karena dana kelolaan reksadana sudah naik cukup signifikan dalam lima tahun terakhir, dan disisi lain pemerintah berencana memotong pajak bagi korporasi.
Untuk menjaga pendapatan pajak negara tetap stabil, pendapatan negara yang berkurang akibat potongan pajak korporasi, sebagian akan ditutupi dari kenaikan pajak reksadana. Rencana kenaikan pajak reksadana ini akan menjadi katalis bagi investor untuk kembali masuk ke pasar saham.
Meski kondisi perekonomian global masih dihantui sejumlah ketidakpastian, investor asing diperkirakan akan kembali melirik pasar saham negara berkembang, setelah pada tahun lalu, investor asing membukukan aksi jual yang cukup besar.
“Berbagai skenario diatas membuat kami cukup yakin pasar saham akan kembali bergairah pada tahun ini, sehingga bisa mendorong indeks naik hingga ke level 7.000,” papar Lucky.
Sektor-sektor yang masih positif sepanjang tahun ini diperkirakan berasal dari emiten perbankan, tembakau/rokok, CPO dan obat-obatan, sedangkan beberapa sektor yang harus dicermati diantaranya batubara, konsumer yang terkait retailers sebagai dampak dari kenaikan iuran BPJS, terang Lucky.
Serangan AS terhadap Iran
Gejolak yang terjadi di Timur Tengah akibat serangan AS yang menewaskan Jenderal besar Iran, yang berbuntut pada pembalasan Iran telah menyebabkan naiknya harga minyak dunia.
Hal ini akan memberi dampak negatif pada defisit perdagangan yang diperkirakan akan membengkak karena kontributor terbesar defisit perdagangan domestik berasal dari neraca minyak dan gas (migas).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan sepanjang Januari – November 2019, total ekspor migas sebesar US$11,442 miliar, sedangkan impor migas tercatat sebesar US$19,752 miliar, sehingga ada defisit sebesar US$8,31 miliar. Defisit perdagangan Indonesia secara total sepanjang Januari – November bila digabung dengan kegiatan ekspor- impor non migas, mencatat defisit sebesar US$3,1 miliar.
Menurut Bahana, konflik AS-Iran tidak akan memberi dampak yang besar, sepanjang selat Hormuz sebagai jalur pengiriman minyak dari Timur Tengah tetap dibuka.
Bila kenaikan harga minyak dunia terjadi, akan memberi sentiment negatif bagi nilai tukar, yang pada akhirnya berdampak pada kinerja keuangan perusahaan dari sektor semen, obat-obat-obatan, dan konsumer karena banyak menggunakan komponen impor.