Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pound Sterling Diproyeksi Perpanjang Kerugian

Pound sterling diprediksi memperpanjang kerugiannnya pada pekan ini, seiring dengan data ekonomi Inggris yang dirilis lebih rendah daripada perkiraan pasar dan menjadi sinyal ekonomi Negeri Ratu Elizabeth tersebut masih dalam tekanan di tengah ketidakpastian Brexit.
Poundsterling. /Reuters
Poundsterling. /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Pound sterling diprediksi memperpanjang kerugiannnya pada pekan ini, seiring dengan data ekonomi Inggris yang dirilis lebih rendah daripada perkiraan pasar dan menjadi sinyal ekonomi Negeri Ratu Elizabeth tersebut masih dalam tekanan di tengah ketidakpastian Brexit.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan pekan lalu, Jumat (3/1/2020), pound sterling ditutup di level US$1,3083 per pound sterling, melemah 0,47%.

Ahli Strategi Commonwealth Bank of Australia Elias Haddad mengatakan bahwa pound sterling berada dalam tekanan akibat kontraksi yang lebih dalam di sektor konstruksi Inggris.

Survei IHS Markit / CIPS menunjukkan penurunan konstruksi yang semakin dalam pada periode Desember 2019, didorong oleh penurunan tajam dalam aktivitas teknik sipil sejak 2009. Sementara itu, pertumbuhan pinjaman konsumen tanpa jaminan Inggris juga melambat menjadi 5,7% pada 2019, peningkatan terkecil sejak Juni 2014.

Selain itu, berdasarkan survei Bank of England bahwa 42% dari bisnis Inggris memperkirakan ketidakpastian Brexit masih berlangsung setidaknya hingga 2021.

“Sterling berada di bawah tekanan turun juga karena dolar AS yang cenderung lebih kuat dan ketidakpastian yang dihasilkan oleh negosiasi perdagangan pasca-Brexit,” ujar Elias seperti dikutip dari Reuters, Minggu (5/1/2020).

Sementara itu, mengutip riset bank MUFG jika tidak terlihat peningkatan yang lebih signifikan dalam sentimen dan aktivitas bisnis dalam beberapa bulan mendatang maka sulit untuk melihat pound sterling reli ke kisaran level US$1,3 per pound sterling hingga level US$1,35 per pound sterling.

Sebagai informasi, mata uang Inggris sempat meroket hingga lebih dari US$1,35 per pound sterling setelah pemilihan umum 12 Desember yang memenangkan Partai Konservatif.

Namun, reli tersebut telah dirusak akibat janji Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk tetap dengan batas waktu Brexit pada akhir 2020 untuk menegosiasikan kerangka kerja perdagangan dengan Uni Eropa.

Periode negosiasi selama 11 bulan tersebut dinilai pasar tidak cukup lama, sehingga banyak ketakutan dari pasar bahwa Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepkatan dagang apapun.

Dalam risetnya, bank MUFG mengatakan bahwa pada perdagangan pekan ini fokus investor akan tertuju pada pertemuan parlemen Inggris pada Selasa (7/1/2020) untuk membahas kesepakatan Brexit.

Keputusan apapun dari hasil pertemuan tersebut yang akan meningkatkan ketidakpastian Brexit akan memberikan tekanan tambahan terhadap pound sterling sehingga mata uang itu akan terus terdepresiasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper