Bisnis.com, JAKARTA - Bursa berjangka semakin percaya diri untuk menargetkan kenaikan transaksi multilateral lebih tinggi pada 2020 sebagai upaya untuk mempercepat Indonesia sebagai acuan harga komoditas dunia, kendati literasi masyarakat dinilai belum optimal.
Direktur Utama Jakarta Futures Exchange (JFX) Stephanus Paulus Lumintang mengaku percaya diri untuk menargetkan volume transaksi multilateral pada tahun depan sebesar 20% lebih tinggi daripada target transaksi multilateral pada 2019.
“Saya harap transaksi multilateral di JFX naik 20% dari 1,45 juta lot pada 2019 menjadi 1,75 juta lot pada 2020,” ujar Paulus saat paparan Kinerja JFX 2019 dan Proyeksi 2020 di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Harapan tersebut, lanjut dia, akan sejalan dengan fokus JFX pada 2020 untuk menguatkan produk multilateral kontrak berjangka JFX baik yang telah tersedia maupun tidak, khususnya untuk komoditas minyak sawit dan emas.
Untuk komoditas minyak sawit, Paulus menuturkan telah bekerja sama dengan bursa luar negeri untuk menarik investor asing bertransaksi di JFX dan menghadirkan liquidity provider agar perdagangan lebih bergairah.
Sebagai informasi, pada November lalu JFX telah menandatangani nota kesepahaman dengan bursa asal Singapura, Asia Pasifik Exchange (APEX) untuk bertukar informasi dan mengoptimalkan perdagangan komoditas andalan Indonesia.
“Kerja sama dengan bursa luar itu bisa menjadi stimulus transaksi, oleh karena itu kami menjadi semakin yakin dengan transaksi multilateral di JFX dapat tumbuh baik pada 2020,” papar Paulus.
Dia juga mengatakan bahwa di tengah kondisi industri yang masih marak dengan praktik investasi bodong dan tren volume transaksi yang kurang kondusif, pihaknya yakin industri perdagangan berjangka komoditi Indonesia pada tahun depan akan tumbuh lebih baik seiring dengan kontrak di bursa yang semakin inovatif dan menarik bagi investor.
Selain itu, JFX juga menargetkan transaksi kontrak bilateral pada 2020 dapat tumbuh 19% atau naik menjadi 6,25 juta lot dibandingkan dengan target 2019 sebesar 5,25 juta lot.
Sementara untuk pasar fisik timah di JFX yang baru diluncurkan pada pertengahan tahun ini, Paulus menargetkan perdagangan fisik timah mencapai 72.000 ton pada 2020.
Adapun, hingga 18 Desember 2019, JFX telah berhasil melampaui target volume transaksi yaitu sebesar 7.514.701 lot, atau 17% lebih tinggi dari target yang ditetapkan pada 2019 sebesar 6.425.045,29 lot.
Secara year on year, volume transaksi berhasil naik 18% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 6.363.579,4 lot.
Lebih perinci, volume transaksi multilateral mengalami kenaikan 9% yaitu sebesar 1.364.572 lot dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 1.257.552 lot.
Sementara itu, volume transaksi untuk kontrak bilateral berhasil naik cukup signifikan sebesar 20,4% atau 6.150.102,7 lot dibandingkan dengan 5.106.028,4 lot pada 2018.
Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia Fajar Wibhiyadi mengatakan bahwa target yang telah ditetapkan oleh JFX cukup realistis.
Bahkan, dirinya juga optimistis pada tahun depan masih tersedia ruang cukup lebar bagi JFX untuk memenuhi volume transaksi lebih tinggi dari target yang sudah ditetapkan.
"Kedepan dengan peningkatan peran masing-masing, kami optimis bahwa sektor perdagangan komoditas berjangka ini memiliki potensi untuk berkembang sangat baik," papar Fajar.
Sementara itu, Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) menargetkan peningkatan transaksi multilateral pada 2020 sebanyak dua kali lipat dari total transaksi multilateral pada 2019.
Kepala Learning Center Indonesia ICDX Anang E. Wicaksono mengatakan bahwa pihaknya lebih optimistis transaksi multilateral menjadi lebih ramai seiring dengan ICDX yang siap gencar meluncurkan kontrak baru pada tahun depan.
Dia menuturkan pada 2020 akan menjadi momentum ICDX untuk menjaring investor lebih luas.
“Jumlah pelaku pasar baru, terutama anak muda, saya rasa juga akan naik, hal ini bersamaan dengan ICDX yang terus menjalankan program literasi kepada masyarakat termasuk ke mahasiswa sepanjang 2019 sehingga pada tahun depan bisa terpenetrasi menjadi pelaku pasar baru,” ujar Anang saat dihubungi Bisnis.
Dia mengatakan bahwa pentingnya untuk mengenalkan transaksi multilateral di bursa sejak dini, bukan hanya sebagai aksi spekulatif saja tetapi juga sebagai aksi lindung nilai sehingga membantu untuk mendorong Indonesia menjadi acuan harga komoditas dunia lebih cepat.
Pada 2020, Anang mengaku ICDX tengah menyiapkan produk multilateral baru berbasis komoditas agrikultur dan menyiapkan produk multilateral yang lebih ramah kepada para pelaku pasar sehingga total transaksi multilateral diharapkan akan meningkat dengan sendirinya.
Adapun, Anang mengaku total transaksi multilateral ICDX sepanjang tahun berjalan 2019 berhasil meningkat walaupun belum sesuai dengan ekspektasi.
Hingga 23 Desember, ICDX berhasil membukukan transaksi multilateral sebesar 398.165 lot, lebih tinggi 35,09% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 294.747 lot.
Kontrak forex multilateral ICDX menjadi kontrak yang paling banyak diperdagangakan pada 2019 dengan total transaksi sebesar 174.064 lot, kemudian diikuti oleh kontrak timah sebesar 124.809 lot, kontrak emas sebesar 51.533 lot, dan kontrak cpo sebesar 47.759 lot.
Sementara itu, ICDX juga menargetkan transaksi bilateral pada 2020 dapat naik sebesar 20% dari total transaksi bilateral pada 2019.
Di sisi lain, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti) Tjahya Widayati mengatakan bahwa dirinya tidak hanya ingin mendorong peningkatan kuantitas dari transaksi multilateral, tetapi juga akan mendorong bursa dan pialang untuk memperhatikan kualitas dari transaksi multilateral itu.
“Jadi ke depan saya harap bukan hanya ingin mengejar kuantitasnya saja, secara kualitas dari produknya dan bagaimana ditransaksikan juga harus diperhatikan,” ujar Tjahya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, menggenjot transaksi multilateral adalah salah satu cara Indonesia untuk mencapai impian sebagai acuan harga komoditas dunia. Pasalnya, Indonesia yang menjadi produsen utama untuk beberapa komoditas di dunia, hingga kini masih mengacu pada harga yang terjadi di pasar Internasional.