Bisnis.com, JAKARTA-Para manajer investasi memandang prospek pasar saham bakal mulai bergairah pada semester II/2020.
Pasalnya, saat itu pasar sudah lebih merespons dampak dari reformasi kebijakan pemerintah dan dari eksternal isu perang dagang diperkirakan tak sepanas tahun ini.
Presiden Direktur PT Mandiri Manajemen lnvestasi Alvin Pattisahusiwa melihat kondisi pasar saham lebih bergairah pada tahun depan mulai semester II/2020 didorong sejumlah katalis dari sisi reformasi kebijakan pemerintah dan harapan membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Kendati pemerintah mulai menggodok sejumlah relaksasi pajak untuk pelaku usaha dari sekarang, dampak sentimen positif tersebut terhadap pasar saham tak akan langsung terjadi pada awal tahun.
Diharapkan beberapa relaksasi yang diberikan nantinya lewat Omnibus Law bisa menggairahkan sektor ril dan mendorong pertumbuhan laba perusahaan khususnya emiten yang mulai terlihat pada kuartal III/2020.
Selain itu, pemotongan pajak emiten menjadi 17% pada 2021 akan membuat pasar merespons positif pada periode 6 bulan sebelumnya.
Baca Juga
“Nah, ini yang saya rasa kenapa secara skenario paruh pertama 2020 pertumbuhan ekonomi masih menantang tapi di paruh kedua katalis yang positif ini sudah mulai kelihatan. Orang mulai bersiap 6 bulan sebelum 2021,” kata Alvin di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Sepakat dengan Alvin, CEO Schroders Indonesia Michael Tjoajadi menyebut kinerja saham pada awal tahun tampaknya belum pulih betul. Pasalnya, pelaku pasar akan mencermati dampak dari Omnibus Law terhadap pertumbuhan laba emiten terlebih dahulu.
“Belum. Saham pada awal tahun depan masih belum. Saya sepakat dengan Alvin karena nanti once Omnibus Law itu firm dan diterapkan, orang akan lihat efeknya di earning,” kata Michael.
Dirinya menjelaskan bahwa laporan keuangan kuartal I/2019 baru diakses pada kuartal II/2019. Oleh karena laporan keuangan kuartal pertama dinilai tidak cukup untuk menjadi bahan pertimbangan, pelaku pasar tampaknya akan menunggu sampai kuartal III/2019 setelah laporan kinerja 6 bulanan keluar untuk mengambil posisi.
Untuk pilihan instrumen investasi, Michael menyebut harus disesuaikan dengan profil risiko dan horizon waktu investasi dari investor.
“Jangka pendek dalam 3 bulan—6 bulan, saya lebih memilih reksa dana pendapatan tetap dan campuran,” tuturnya.