Bisnis.com, JAKARTA – Langkah negara-negara Asia Tenggara untuk menjadi importir bersih (net importer) bahan bakar fosil makin dekat, hanya berjarak beberapa tahun.
Hal itu disampaikan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) dalam laporan tahunan untuk kawasan tersebut, seperti dilansir dari Reuters, Kamis (31/10/2019).
Menurut badan tersebut, ekspektasi pertumbuhan permintaan energi di kawasan ini tengah melambat karena perekonomian bergeser ke sektor manufaktur dan jasa yang minim konsumsi energi. Selain itu, juga karena efisiensi yang lebih besar.
Lembaga yang berbasis di Paris itu mencatat Asia Tenggara sebenarnya telah menjadi importir minyak dengan volume neto sebesar 4 juta barel per hari (bph) pada 2018. Sementara itu, pertumbuhan permintaan gas alam yang kuat telah mengurangi surplus gas untuk ekspor.
Terkait batu bara, produksi dari Indonesia--produsen utama kawasan itu--masih di atas 400 juta ton setara batu bara (Mtce) pada tahun lalu. Namun, penambahan permintaan domestik serta ekspor ke China dan India bisa mengurangi surplusnya.
“Tren ini mengarah pada Asia Tenggara menjadi importir bersih bahan bakar fosil pada beberapa tahun ke depan,” papar IEA dalam laporannya.
Baca Juga
Pada 2011, surplus pasokan batu bara dari seluruh Asia Tenggara masih melampaui permintaan sebanyak 120 juta ton setara minyak (Mtoe). Namun, hal itu telah terkikis hingga 30 Mtoe pada 2018.
IEA mewanti-wanti tumbuhnya ketergantungan pada impor juga meningkatkan kekhawatiran tentang keamanan energi. Misalnya, ketergantungan Asia Tenggara pada impor minyak diperkirakan melebihi 80 persen pada 2040, naik dari 65 persen pada saat ini.
Tanpa perubahan kebijakan, permintaan energi Asia Tenggara diperkirakan tumbuh 60 persen pada 2040, karena ekonomi negara tersebut meningkat dua kali lipat. Jumlah itu menyumbang 12 persen dari kenaikan dalam penggunaan energi, tetapi lebih lambat dari pertumbuhan 80 persen sejak 2000.
Sementara itu, IEA juga menemukan pertumbuhan permintaan listrik di Asia Tenggara, yang rata-rata 6 persen per tahun, telah menjadi yang tercepat di dunia.
Namun, sekitar 45 juta orang masih kekurangan akses listrik. Wilayah ini sedang dalam perjalanan untuk mencapai akses universal ke listrik pada 2030.
Selain itu, permintaan minyak di Asia Tenggara, yang merupakan rumah bagi hampir 10 persen dari populasi dunia, akan melampaui 9 juta bph pada 2040, atau naik dari hanya di atas 6,5 juta bph sekarang.
"Minyak terus mendominasi permintaan transportasi darat, meskipun ada peningkatan konsumsi biofuel," kata IEA.
Menurut IEA, elektrifikasi di sektor transportasi masih bersifat terbatas. Hal ini menunjukkan sedikit perubahan dari jalan yang macet dan kualitas udara perkotaan yang buruk saat ini, di Asia Tenggara.
Permintaan terhadap batu bara juga diproyeksi terus meningkat selama beberapa dekade mendatang, sebagian besar dipicu oleh pembangkit listrik baru bertenaga batu bara.
Meskipun demikian, ada tantangan yang dihadapi proyek-proyek seperti itu, termasuk meningkatnya kesulitan mendapatkan pembiayaan kompetitif untuk fasilitas baru.
IEA menyampaikan meningkatnya ketergantungan pada impor gas alam di kawasan itu membuat harga bahan bakar tersebut kurang kompetitif, meskipun tampaknya cocok untuk kota-kota yang tumbuh cepat dan industri yang lebih ringan di wilayah tersebut.
"Dalam proyeksi kami, konsumen industri dan bukan pembangkit listrik yang merupakan sumber pertumbuhan permintaan gas terbesar," tambah IEA.
Adapun energi terbarukan disiapkan untuk memainkan peran yang lebih besar. Tetapi, upaya itu tanpa kerangka kerja kebijakan yang lebih kuat.
IEA menemukan bagian energi terbarukan dalam pembangkit listrik akan naik hanya menjadi 30 persen pada 2040, dari 24 persen saat ini.
Energi angin dan matahari diperkirakan akan tumbuh pesat, sedangkan tenaga air dan bioenergi modern, termasuk biofuel, biomassa, biogas, dan bioenergi yang berasal dari produk limbah lainnya, akan tetap menjadi andalan portofolio energi terbarukan Asia Tenggara.