Bisnis.com, JAKARTA—Penyebab kinerja reksa dana saham selama 5 tahun terakhir yang underperform dari IHSG dinilai karena pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan sehingga tak bisa mendongkrak harga saham-saham emiten di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan data Infovesta Utama pada periode 2 Januari 2014—30 September 2019, indeks reksa dana saham yang diwakili Infovesta Equity Fund Index tercatat berkinerja paling rendah sebesar 15,20%.
Padahal, pada saat bersamaan, indeks harga saham gabungan (IHSG) terpantau menguat 42,56%.
Presiden Direktur PT Mandiri Manajemen lnvestasi Alvin Pattisahusiwa menjelaskan bahwa kinerja produk reksa dana saham sebenarnya menunjukkan sejauh mana para fund manager dapat mengalahkan benchmark-nya atau IHSG selama 5 tahun terakhir.
Dalam hal ini, manajer investasi biasanya tidak hanya mengacu kepada bobot IHSG tetapi juga memilih konstituen indeks acuan lain, seperti indeks LQ45, IDX30, maupun Bisnis27.
“Atau hal lainnya bisa jadi karena saham-saham yang [berkapitalisasi] kecil dan menengah pada periode 2014 sampai sekarang mungkin tidak terlalu memberikan hasil yang cukup optimal,” kata Alvin kepada Bisnis, Selasa (15/10/2019).
Baca Juga
Dirinya menjelaskan, hal itu terjadi juga karena mengikuti pertumbuhan ekonomi domestik yang belum bisa menyentuh level 6% dan masih bertahan di kisaran 5%.
PR Pemerintah Periode Kedua
Hal tersebut, lanjut Alvin, merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode keduanya ini yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi menuju level 6% atau 7%.
Adapun, pertumbuhan ekonomi yang meningkat otomatis bakal mendorong kinerja perusahaan kecil dan menengah untuk dapat memberikan performa yang optimal.
“Seharusnya di term kedua [Presiden Jokowi], kalau bisa pemerintah bisa membuat pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari level sekarang, mungkin ke 6% dan 7%,” imbuh Alvin.
Selama periode pertama masa jabatan Presiden Joko Widodo, Alvin juga mengapresiasi langkah pemerintah yang memberikan relaksasi pajak untuk produk reksa dana dalam rangka menggairahkan industri.
“Kami menyambut baik, terutama adanya atensi pemerintah mengenai pajak-pajak yang dikenakan untuk produk investasi alternatif,” tutur Alvin.
Dirinya menjelaskan bahwa dalam 2—3 tahun tearkhir perkembangan produk reksa dana di pasar modal telah lebih beragam. Beberapa insentif dari pemerintah pun dinilai bisa menggairahkan produk-produk baru ini seperti produk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra), Dana Investasi Real Estat (DIRE), dan Efek Beragun Aset (EBA).
Menurut Alvin, produk-produk investasi alternatif ini selain dapat mengalirkan dana investasi masyarakat untuk membiayai ekspansi perusahaan juga sejalan dengan meningkatnya total dana kelolaan industri reksa dana selama lima tahun terakhir.