Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Efek Indonesia mencatat total emisi obligasi dan sukuk sebesar Rp86,6 triliun dari Januari hingga 20 September 2019.
Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia, Yulianto Aji Sadono mengatakan nilai emisi obligasi dan sukuk yang tercatat itu berasal dari 74 emisi yang diterbitkan oleh 41 emiten. Adapun, dengan pencatatan tersebut, total emisi yang beredar sebesar Rp440,44 triliun dan US$47,5 juta yang berasal dari 415 emisi oleh 118 emiten penerbit.
Kendati demikian, nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan surat berharga negara (SBN) yang berjumlah 103 seri dan nominalnya sebesar Rp2.642,18 triliun dan US$400 juta.
Dalam sepekan, terdapat satu emiten yang menerbitkan surat utangnya. Pertama, PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. (TELE) yang merilis Obligasi Berkelanjutan II Tiphone Tahap II Tahun 2019 dengan nilai Rp500 miliar dan kupon tetap 11,5% per tahun bertenor 3 tahun. TELE mendapatkan peringkat idBBB+ dari PT Pemeringkat Efek Indonesia.
“Total emisi Obligasi dan Sukuk yang sudah tercatat sepanjang tahun 2019 adalah 74 Emisi dari 41 Emiten senilai Rp86,60 Triliun,” katanya, dalam keterangan resmi.
Langkah Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan belum lama ini diperkirakan bakal mendorong emiten untuk menggalang dana melalui surat utang. Alasannya, penerbitan surat utang pada saat ini menjadi momentum untuk mendapatkan dana murah karena turunnya beban bunga.
Di sisi lain, dengan turunnya suku bunga acuan, investor mencari alternatif instrumen yang menawarkan kupon tinggi.
Sebelumnya, Kepala Penjualan dan Distribusi Ashmore Asset Management Indonesia, Steven Satya Yudha mengatakan minat investor terhadap instrumen surat utang korporasi tak surut begitu saja hanya karena kasus gagal bayar Duniatex. Di lapangan, katanya, dengan kondisi yield dan suku bunga rendah, surat utang berkupon tinggi masih diburu.
“Fakta yang saya lihat di lapangan sebetulnya minat investor belum surut. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh fakta bahwa investor berada dalam kondisi low-yield dan low-rate environment, minat terhadap obligasi korporasi high yield masih relatif tinggi,” kata Steven.
Menurutnya, setelah kasus gagal bayar tersebut, investor memang akan lebih berhati-hati dan lebih ketat dalam melihat kinerja perusahaan juga transparansinya.
“Transparansi penerbit terkait solvabilitas dan kinerja perusahaan akan menjadi krusial dalam situasi saat ini, mengingat suku bunga memang turun, tapi premi risiko naik,” katanya.