Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah mencatat rekor kenaikan terbesarnya pada perdagangan Senin (16/9/2019), setelah serangan dahsyat di Arab Saudi mengintensifkan kekhawatiran tentang meningkatnya ketidakstabilan di wilayah penghasil minyak mentah paling penting di dunia ini.
Pada Sabtu (14/9/2019), fasilitas minyak milik raksasa minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, terbakar setelah diserang drone. Serangan drone tersebut berdampak pada dua pabrik Aramco, yakni di Abqaiq dan Khurais.
Berdasarkan data Bloomberg, minyak Brent untuk kontrak November 2019 ditutup melonjak 15 persen di level US$69,02 per barel di ICE Futures Europe.
Menurut Goldman Sachs Group, minyak mentah acuan global ini dapat terus naik melampaui level US$75 per barel jika penghentian produksi di Abqaiq bertahan hingga lebih dari enam pekan.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Oktober 2019 ikut berakhir melonjak 15 persen di level US$62,90 per barel, level penutupan tertinggi sejak 21 Mei. Baik volume perdagangan untuk Brent maupun WTI dilaporkan menyentuh rekor level tertingginya.
Brent futures di London bahkan sempat mencatat rekor lonjakan US$12 per barel pada awal perdagangan Senin (16/9), sebelum mengakhiri pergerakannya tepat di atas level US$69 dan membukukan kenaikan persentase harian terbesar sejak kontrak minyak ini mulai diperdagangkan pada tahun 1988.
Harga minyak kemungkinan akan tetap naik setelah pejabat pemerintah Saudi mengecilkan prospek untuk pemulihan kapasitas produksi dengan cepat.
Menurut sumber terkait, Saudi Aramco bisa menghadapi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum sebagian besar produksi dari kompleks pemrosesan minyak mentah Abqaiq dipulihkan.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan serangan terhadap Saudi Aramco menggunakan persenjataan Iran. Pemerintah AS, yang diketahui telah berkonflik dengan negara Republik Islam itu, pun menyalahkan Iran atas serangan itu.
Untuk pasar minyak, kondisi ini merupakan gangguan pasokan terburuk yang pernah terjadi. Serangan yang merusak kompleks pemrosesan utama dan salah satu ladang Saudi menyoroti kerentanan eksportir terbesar dunia ini.
“Kita belum pernah melihat gangguan pasokan dan respons harga seperti ini di pasar minyak,” ujar Saul Kavonic, analis energi di Credit Suisse Group AG. “Premi risiko politik sekarang kembali pada agenda pasar minyak.”
Kepada CNBC, Menteri Energi AS Rick Perry mengatakan bahwa "upaya koalisi" akan diperlukan untuk melawan Iran. Oleh pemerintahan Presiden Donald Trump, Iran diyakini berada di balik serangan itu.
Saudi Aramco kehilangan sekitar 5,7 juta barel per hari dari produksinya pada Sabtu (14/9) setelah 10 pesawat tak berawak (drone) menghantam fasilitas Abqaiq dan ladang minyak terbesar kedua kerajaan di Khurais.
Seorang pejabat militer Saudi sebelumnya mengatakan, temuan awal menunjukkan bahwa senjata Iran digunakan dalam serangan itu meskipun tidak secara langsung menyalahkan Iran atas serangan itu.
Gangguan produksi itu melebihi hilangnya produksi minyak Kuwait dan Irak pada Agustus 1990, ketika Saddam Hussein menyerbu negara tetangganya. Gangguan ini juga melebihi kehilangan produksi minyak Iran pada tahun 1979 selama Revolusi Islam, menurut Badan Energi Internasional (IEA).
“Kerentanan infrastruktur Saudi terhadap serangan, secara historis dipandang sebagai sumber minyak mentah yang stabil untuk pasar, adalah paradigma baru yang perlu dihadapi pasar,” tutur Virendra Chauhan, seorang analis konsultan industri Energy Aspects Ltd.
"Saat ini, tidak diketahui berapa lama minyak mentah akan offline,” imbuhnya.
Menurut sumber terkait, pejabat Aramco semakin tidak optimistis bahwa akan ada pemulihan yang cepat dalam hal produksi. Sementara itu, pihak Kerajaan ataupun pelanggannya dapat menggunakan cadangan mereka untuk menjaga persediaan mengalir dalam jangka pendek.
Aramco dapat mempertimbangkan untuk menyatakan tidak dapat memenuhi kontrak pada beberapa pengiriman internasional, yang dikenal sebagai force majeure, jika dimulainya kembali kapasitas penuh di Abqaiq membutuhkan waktu berminggu-minggu.
Sebagai alternatif, kilang kerajaan itu sendiri dapat menghentikan operasi hanya untuk menjaga ekspor minyak mentah terus mengalir, menurut analis JBC dan Energy Aspects.
Pergerakan minyak mentah WTI kontrak Oktober 2019 | ||
---|---|---|
Tanggal | Harga (US$/barel) | Perubahan |
16/9/2019 | 62,90 | +8,05 poin |
13/9/2019 | 54,85 | -0,24 poin |
Pergerakan minyak mentah Brent kontrak November 2019 | ||
---|---|---|
Tanggal | Harga (US$/barel) | Perubahan |
16/9/2019 | 69,02 | +8,80 poin |
13/9/2019 | 60,22 | -0,16 poin |
Sumber: Bloomberg