Bisnis.com, JAKARTA - Pound sterling berbalik melemah pada perdagangan Selasa (10/9/2019) dipicu oleh kekhawatiran Brexit, setelah sempat menyentuh level tertingginya sejak Juli pada perdagangan sebelumnya.
Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 17.37 WIB, pound sterling bergerak melemah 0,11% menjadi US$1,2332 per pound sterling. Padahal, pada perdagangan sebelumnya pound sterling sempat menyentuh level US$1,2385 per pound sterling sebelum ditutup di level US$1,2346 per pound sterling, menguat 0,51%.
Analis PT Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan bahwa perbedaan cara pandang parlemen dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson terhadap strategi keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi kekhawatiran pasar.
“Tampaknya mayoritas parlemen Inggris menginginkan soft Brexit sedangkan PM Johnson lebih condong mengambil langkah hard Brexit,” ujar Deddy kepada Bisnis, Selasa (10/9/2019).
Meskipun parlemen Inggris menyetujui legislatif yang memaksa PM Boris Johnson untuk meminta perpanjangan tenggat waktu Brexit ke Uni Eropa jika tidak terdapat kesepakatan apapun pada pertengahan Oktober, Boris Johnson bersikeras untuk tetap mengeluarkan Inggris dari Benua Biru dengan atau tanpa kesepakatan pada batas waktu yang ditentukan.
Penasihat senior PM Boris Johnson, Dominic Cummings, pun menegaskan bahwa Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tepat waktu, yaitu pada 31 Oktober 2019.
Kendati demikian, para pemimpin UE telah berulang kali mengatakan bahwa pihaknya belum menerima proposal spesifik menjelang pertemuan puncak UE dengan Inggris pada 17 dan 18 Oktober.
Deddy mengatakan, jika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, hal tersebut akan membawa pound sterling dilanda aksi jual besar-besaran.
Ahli Strategi Mata Uang Rabobank Jane Foley mengatakan bahwa pasar kini sangat berhati-hati dan semakin tampak gelisah akibat sikap PM Boris Johnson tersebut.
Berusaha Bangkit
Sementara itu, Analis PT Best Profit Agus Prasetyo mengatakan bahwa pound sterling tampak masih berusaha untuk kembali bangkit dipicu oleh data pengangguran yang bervariatif.
Pound sterling sempat menguat pada perdagangan Senin (9/9) setelah data ekonomi Inggris dirilis lebih baik daripada perkiraan pasar sehingga meredakan kekhawatiran investor terkait resesi teknis di Inggris dan setelah Goldman Sach memangkas ekspektasinya untuk no-deal Brexit.
Berdasarkan data pemerintah Inggris, penghasilan rata-rata Inggris kecuali bonus naik 3,8% di Juli, seperti yang diharapkan oleh pasar. Selain itu, PDB Inggris periode Juli juga menunjukkan adanya kenaikan sebesar 0,3% dibandingkan dengan ekspektasi pasar sebesar 0,1% dan laporan sebelumnya yang stagnan.
Produksi manufaktur Inggris untuk periode Juli juga menunjukkan adanya pertumbuhan sebesar 0,3%, lebih tinggi dari estimasi pasar yang memprediksi turun 0,3% dan laporan sebelumnya yang berkontraksi 0,2%.
“Selain itu, Bank Sentral Inggris yang bernada hawkish dalam penampilannya baru-baru ini ikut mendorong pound sterling untuk berusaha rebound melawan dolar AS,” ujar Agus kepada Bisnis, Selasa (10/9/2019).
Namun, masa depan Brexit masih berada dalam ketidakpastian dan parlemen akan ditangguhkan hingga 14 Oktober sehingga memicu ketegangan di House of Commons. Hal tersebut pun menjadi sinyal negatif dan membatasi pound sterling untuk menguat lebih jauh.
Kemudian, bangkitnya sentimen risiko global karena meredanya ketegangan dagang AS-China dan ketegangan timur tengah antara Inggris-Iran diperkirakan ikut menjadi beban dan membatasi penguatan pound sterling pada perdagangan berikutnya.
Pada perdagangan Rabu (11/9/2019), Agus memproyeksi pound sterling tetap bergerak turun dalam jangka pendek dengan level support di US$1,2285 per pound sterling dan level resisten di US$1.2358 per pound sterling.