Bisnis.com, JAKARTA – Dolar Amerika Serikat melemah dan poundsterling menuju level tertinggi ssepekan pada perdagangan Kamis (5/9/2019) setelah kekalahan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson di parlemen membuat investor optimis bahwa no-deal Brexit dapat dihindari.
Dolar AS jatuh terhadap sebagian besar mata uang utama meskipun menguat terhadap safe-haven yen, karena voting parlemen Inggris, data ekonomi positif di AS dan China, serta harapan meredanya krisis politik Hong Kong memikat investor untuk mengambil aset berisiko.
Dilansir dari Bloomberg, poundsterling berada di level US$1,2238, setelah mencapai kinerja terbaiknya terhadap dolar AS dalam lebih dari lima bulan terakhir, sedangkan euro juga menguat 0,6 persen ke level US$1,1033.
Sementara itu, indeks dolar AS, yang melacak pergerakan greenback terhadap mata uang utama lainnya, terpantau melemah 0,016 poin atau 0,02 persen ke level 98,435 pada pukul 08.26 WIB.
Indeks dolar AS sebelumnya dibuka melemah 0,047 poin atau 0,03 persen ke level 98,424, setelah pada akhir perdagangan Rabu (4/9) ditutup turun 0,549 poin atau 0,55 persen di posisi 98,451.
Parlemen Inggris memenangkan pemungutan suaran pada hari Rabu untuk mencegah PM Johnson mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan, atau no-deal Brexit pada 31 Oktober dan menolak usulan untuk mengadakan pemilihan cepat dua pekan sebelum batas akhir.
Baca Juga
"Meskipun belum ada kejelasan terhadap kekhawatiran pasar, sentimen investor mundur dari level ekstrem," kata Michael McCarthy, kepala analis CMC Markets, Kamis (4/9).
"Pasar mata uang menggambarkan pergeseran ... dolar AS memainkan peran pasif ketika pasar menunggu tweet lanjutan (dari Donald Trump) mengenai perdagangan," lanjutnya, seperti dikutip Reuters.
Sentimen Brexit masih mengudara, dengan kemungkinan hasil mulai dari keluarnya Inggris dari UE tanpa kesepakatan hingga membatalkan Brexit.
"Penting untuk diingat bahwa situasi terus terlihat sangat buruk," analis J.P Morgan mengingatkan investor dalam catatan pasar, menunjukkan bahwa Johnson mendorong untuk pemilihan cepat dan apa yang disebut "hard Brexit" masih menjadi pilihan.
Prospek perdagangan global yang lemah juga masih menjadi kekhawatiran utama, dengan Presiden AS Donald Trump memperingatkan pada hari Selasa bahwa ia akan bersikap "lebih keras" terhadap China jika ia memenangkan pemilihan presiden 2020.