Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun berjalan 2019, rupiah berada di posisi ketiga mata uang yang berhasil menguat melawan dolar AS dengan terapresiasi 1,62%, di bawah ruble yang menguat 4,44% dan baht yang menguat 5,66%.
Di Asia, rupiah juga menduduki posisi ketiga sebagai mata uang dengan kinerja terbaik di bawah baht dan yen yang menguat 3,26%.
Sementara itu, dalam sebulan terakhir rupiah juga tampak kokoh di jalur hijau menguat 0,69% dan masih di posisi ketiga sebagai mata uang dengan kinerja terbaik di saat mata uang yang juga dianggap sebagai aset safe haven, yen, terkoreksi 0,25%/
Adapun, rupiah berhasil bergerak menguat dan menunjukkan keperkasaannya di tengah mayoritas mata uang aset berisiko lainnya tertekan oleh kuatnya dolar AS dan imbas dari ketidakpastian global, seperti ketegangan perdagangan AS dan China serta Brexit.
Selain itu, rupiah yang bergerak terbatas dalam beberapa perdagangan terakhir bahkan ketika terkoreksi menunjukkan pergerakkan yang cenderung stabil menjadi poin lebih bagi rupiah.
Analis PT Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan bahwa dengan melihat arus masuk dana asing (capital inflow) yang cukup tinggi ke Indonesia di saat pasar dibayangi oleh banyaknya sentimen ketidakpastian maka peluang rupiah dijadikan aset investasi aman cukup besar.
“Untuk saat ini bisa [menjadi aset safe have], karena investor harus mencari tempat untuk memutar dananya,” ujar Deddy kepada Bisnis, Rabu (4/9/2019).
Sebagai informasi, Bank Indonesia mencatat capital inflow Indonesia per 29 Agustus 2019 sebesar Rp180,7 triliun yang terdiri atas Rp118,9 triliun berasal dari surat berharga negara (SBN) dan Rp60,7 triliun berasal dari saham.
Jika dilihat dari imbal hasil obligasinya pun, Indonesia masih memiliki daya tarik lebih bagi para investor dibandingkan dengan negara lain karena imbal hasil yang tawarkan cukup tinggi.
Deddy mengatakan, rupiah yang berhasil menunjukkan kinerja positif tersebut juga dipicu oleh data inflasi yang memungkinkan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan.
Selain itu, lanjut Deddy, Indonesia sampai saat ini merupakan salah satu negara emerging market yang setiap keputusan kebijakan moneter oleh Bank Sentral tidak mendapat intervensi dari presiden, seperti India dan Turki.
Dia pun memproyeksi, jika melihat secara teknikal, hingga akhir tahun rupiah masih berpotensi untuk melanjutkan penguatannya melawan dolar AS dengan bergerak di kisaran Rp14.300 hingga Rp14.060 per dolar AS.
Di sisi lain, Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa untuk menjadi aset investasi aman, rupiah harus memiliki fundamental ekonomi yang kuat agar nilai tukar tidak memiliki risiko yang cukup besar.
“Paling tidak current accountnya harus positif dulu. Dengan current account yang defisit menimbulkan risiko bahwa nilai tukarnya akan melemah. Sebuah aset dijadikan sebagai safe haven kalau tingkat risikonya kecil,” ujar Ariston kepada Bisnis.
Namun, transaksi berjalan yang positif tersebut tidak berlaku terhadap AS, karena meski transaksi berjalan Negeri Paman Sam defisit, tetapi dolar AS telah menjadi mata uang acuan dunia sehingga bisa dianggap sebagai aset safe haven.
Selain itu, dia juga mengatakan bahwa tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi bukan sebuah patokan aset investasi disebut sebagai aset yang aman. Tingkat imbal hasil yang tinggi justru umumnya dinilai karena memiliki tingkat risiko yang tinggi.
Terkait pergerakan rupiah yang cenderung stabil, dia menilai terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain fundamental ekonomi Indonesia yang masih stabil dibandingkan dengan negara maju lainnya, intervensi yang dilakukan Bank Indonesia di pasar valas dan DNDF, serta kecenderungan pasar yang tengah menanti sentimen baru.
Mata uang Garuda juga dinilai berpotensi untuk melanjutkan penguatanya hingga akhir tahun dengan bergerak Rp13.750 hingga Rp14.500 per dolar AS seiring dengan proyeksi The Fed yang mulai berada dalam mode pelonggaran moneter.
Adapun, pada penutupan perdagangan Rabu (4/9/2019), rupiah berada di level Rp14.160 per dolar AS, menguat 0,48% atau 68 poin menjadi terkuat ketiga di Asia.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa penguatan rupiah kali ini ditopang oleh dolar AS yang melemah akibat data manufakturnya yang terkontraksi untuk pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir.
“Dengan data ekonomi yang jelek tersebut mendukung spekulasi pada pelonggaran kebijakan yang lebih agresif oleh Federal Reserve dalam bulan ini,” ujar Ibrahim dalam keterangan resminya.
Pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan melemahkan dolar AS sehingga dapat membantu rupiah untuk bergerak menguat.
Dia memproyeksi rupiah bergerak menguat karena sentimen eksternal yang masih mendukung dengan kisaran Rp14.145 per dolar AS hingga Rp14.200 per dolar AS.
Mata Uang | Kinerja YTD |
Baht Thailand | +5,66% |
Ruble Russia | +4,44% |
Rupiah Indonesia | +1,62% |
Peso Filipina | +1,18% |
Dolar Hong Kong | -0,09% |
Peso Meksiko | -0,77% |
Sol Peru | -1,04% |
Ringgit Malaysia | -1,64% |
Dolar Singapura | -1,66% |
Dolar Taiwan | -2,39% |