Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Neraca Perdagangan Juli Dirilis, IHSG Melemah 1,09 Persen Pada Akhir Sesi I

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah lebih dari 1 persen pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Kamis (15/8/2019), pascarilis data neraca perdagangan untuk Juli 2019.
Karyawan melintas di dekat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (27/5/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan melintas di dekat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (27/5/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah lebih dari 1 persen pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Kamis (15/8/2019), pascarilis data neraca perdagangan untuk Juli 2019.

Berdasarkan data Bloomberg, IHSG melemah 1,09 persen atau 68,12 poin ke level 6.199,22 pada akhir sesi I dari level penutupan perdagangan sebelumnya. 

Pada perdagangan Rabu (14/8), IHSG mampu berakhir menguat 0,91 persen atau 56,37 poin di level 6.267,33. Indeks mulai tergelincir dari penguatannya dengan dibuka turun tajam 1,19 persen atau 74,88 poin di level 6.192,46 pagi ini.

Sepanjang perdagangan sesi I, IHSG bergerak di level 6.161,66 – 6.227,77.

Seluruh sembilan sektor menetap di zona merah, dipimpin sektor aneka industri (-2,14 persen), finansial (-1,37 persen), dan tambang (-1,19 persen).

Adapun sebanyak 80 saham menguat, 296 saham melemah, dan 275 saham stagnan dari 651 saham yang diperdagangkan.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang masing-masing turun 1,85 persen dan 1,25 persen menjadi penekan utama pelemahan IHSG siang ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2019 mengalami defisit US$63,5 juta. Sementara itu, nilai ekspor pada Juli 2019 tercatat US$15,45 miliar dan impor tercatat US$15,51 miliar.

Defisit ini berasal dari migas yang defisit US$142,4 juta. Secara kumulatif Januari-Juli neraca perdagangan masih mencatatkan defisit US$1,90 miliar. Akan tetapi, dibandingkan dengan defisit Januari-Juni 2019 defisit pada Juli mengecil. 

Menurut Kepala BPS Suhariyanto, penyebab utamanya adalah impor harga minyak mentah. Dia juga mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak mudah karena ekonomi global seperti ekonomi Amerika Serikat, China, dan Singapura mengalami perlambatan.

"Masih terjadi perlambatan ekonomi dan perang dagang masih berlanjut. Di sisi lain, harga-harga komoditas masih fluktuatif yang masih akan mempengaruhi neraca perdagangan Juli," terangnya dalam jumpa pers.

Sejalan dengan IHSG, nilai tukar rupiah lanjut melemah 38 poin atau 0,27 persen ke level Rp14.283 per dolar AS, setelah dibuka terdepresiasi 26 poin atau 0,18 persen di posisi 14.271.

Sementara itu, indeks Bisnis-27 melemah 1,39 persen atau 7,67 poin ke level 544,46 dan indeks saham syariah Jakarta Islamic Index melorot 1,47 persen atau 9,90 poin ke posisi 665,45 pada akhir sesi I.

Indeks saham lainnya di Asia rata-rata juga tertekan siang ini. Indeks Nikkei 225 dan Topix Jepang masing-masing melemah 1,65 persen dan 1,37 persen.

Di China, dua indeks saham utamanya Shanghai Composite dan CSI 300 turun 0,62 persen dan 0,54 persen masing-masing. Adapun indeks Hang Seng Hong Kong terpantau turun 0,19 persen pukul 12.01 WIB.

Secara keseluruhan, bursa Asia melemah akibat tertekan kekhawatiran tentang meningkatnya risiko resesi. Pada perdagangan Rabu (14/8/2019), bursa saham Amerika Serikat melemah tajam karena kekhawatiran resesi mencengkeram pasar, setelah inversi kurva imbal hasil Treasury AS untuk pertama kalinya dalam 12 tahun.

Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun AS turun di bawah imbal hasil dua tahun, untuk pertama kalinya sejak 2007. Ini dikenal sebagai inversi kurva imbal hasil dan dianggap oleh investor sebagai tanda bahwa resesi akan datang.

“Inversi kurva imbal hasil memberi tanda peringatan, investor harus memeriksa bahwa portofolio mereka tangguh. Tapi itu bukan alasan untuk panik atau bersandar pada aksi jual,” ujar Kerry Craig, pakar strategi pasar global di J.P. Morgan Asset Management, dikutip dari Reuters.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper