Bisnis.com, JAKARTA - Depresiasi mata uang yuan mendorong perhatian pada kondisi stabilitas mata uang rupiah di tengah perang kurs dunia.
Analis Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro dan Dwiwulan menyatakan depresiasi mata uang China yaitu yuan adalah upaya si negeri panda bertahan dari tarif baru yang ditetapkan Trump.
Apalagi sangat tidak biasa ketika PBOC menetapkan bunga 1% lebih rendah. Ini juga mengindikasikan kepatuhan pemerintahan Xi Jinping kepada bank sentral.
Satria menyebut depresiasi kurs yuan adalah permulaan dari perang kurs. Sebelumnya pada 2015 China juga pernah membelanjakan cadangan valas dalam 10 bulan dengan intervensi berkelanjutan untuk mencegah kurs melemah.
Dengan kondisi kurs tengah nilai tukar mata uang China ini melemah 229 basis poin menjadi 6,9225 terhadap dolar AS. Menurut Satria ini adalah tindakan tit-for-tat merespons Donald Trump.
Adapun implikasinya terhadap rupiah adalah mendorong Bank Indonesia untuk melakukan intervensi pada pasar uang dan obligasi.
"Namun depresiasi yuan nantinya akan menekan The Fed untuk menurunkan indeks dolar sehingga bisa mengangkat mata uang Asia lainnya," papar Satria.
Dia yakin kondisi makro yang cukup kuat dengan obligasi yang tinggi di Indonesia akan memberi manfaat yang bagus.
"Kami tetap yakin sampai akhir tahun rupiah dan obligasi pada kisaran Rp13.770 dan 6,70% kemungkinan juga menguat seiring perubahan sentimen," jelas Satria.