Bisnis.com, JAKARTA — Investor mengantisipasi risiko dengan lebih banyak masuk ke dalam penawaran SBSN bertenor pendek pada lelang SBSN Selasa (14/5/2019).
Di sisi lain, pemerintah juga menyerap lebih rendah nominal lelang SBSN senilai Rp5,15 triliun dari target Rp8 triliun.
Pengamat pasar modal Anil Kumar mengatakan bahwa lebih dari separuh investor yang memasukkan penawaran memilih tenor jangka pendek, yakni SPNS01112019 dan SPNS15052020.
Kondisi ini, lanjut dia bertentangan dengan target pemerintah yang menyasar investor SBSN jangka panjang guna menambah jatuh tempo rata-rata obligasi.
Anil memproyeksikan pada lelang berikutnya pemerintah juga akan mengalami kesulitan dalam mencapai target. Pasalnya, investor menilai pasar obligasi masih berisiko dengan kondisi ketidakpastian global dan domestik.
Pemerintah lanjut dia, juga harus memikirkan langkah selanjutnya untuk menjaga yield tetap atraktif dengan tidak memperlebar resiko defisit bujet.
Baca Juga
“Targetnya Rp8 triliun, tetapi akhirnya yang dimenangkan Rp5,15 triliun. Kemunduran dari pemerintah targetkan. Pasar obligasi saat ini tidak mau ambil resiko. Terlihat dari appetite untuk masuk di seri yang jangka pendek,” jelasnya Selasa (14/5/2019).
Ramdhan Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia mengatakan ekspektasi investor mengharapkan yield yang terlampau tinggi, sehingga pemerintah tidak bisa menyerap banyak.
“Ketidakpastian pasar besar, arah ketidakpastian perang dagang tinggi. Tenor penedek menjadi lebih dimintai dengan resiko volatilitas rendah,” terangnya.
Senada, analis Mirae Sekuritas, Dhian Karyantono mengatakan, kenaikan minat investor dalam lelang SBSN kali ini cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan lelang sebelumnya dengan adanya seri baru dengan tenor pendek yang ditawarkan.
Adapun situasi global kembali memanas setelah China membalas tindakan Amerika untuk menaikkan tarif impor.
China mengumumkan bahwa mereka akan menaikkan tarif yang dikenakan atas barang barang AS sekitar US$60 miliar sebagai bentuk balasan terhadap Trump.
Tarif tersebut akan berlaku pada 1 Juni nanti. Tingkat tarif China akan dikenakan terhadap; A. 25% untuk 2.493 item dari sebelumnya 10%. B. 20% untuk 1.078 item dari sebelumnya 10%. C. Tarif 10% untuk 974 item dari 5%. D. Tarif 5% dikenakan terhadap 595 item.
Kementrian Keuangan China mengharapkan bahwa AS akan kembali ke jalur yang benar untuk menemui titik tengah perdagangan dengan China.
Sikap China ini kemudian kembali dibalas oleh AS dengan merilis daftar sekitar US$300 miliar barang China yang nantinya akan dikenakan tarif hingga 25%. Dalam daftar yang dirilis tersebut, ada ponsel dan mainan. Sebelum merilis daftar tersebut,
Analis MNC Sekuritas I Made Adi Saputra menyebutkan, sentimen negatif tidak hanya datang dari perang dagang Amerika Serikat dan China tetapi dari sisi domestik, data makroekonomi yang di luar perkiraan.
Data cadangan devisa (MoM) yang mengalami penurunan, defisit neraca perdagangan hingga pertumbuhan ekonomi domestik.
Berdasarkan data hasil lelang dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, total penawaran yang masuk sebesar Rp20,46 triliun.
Penawaran tertinggi ada pada SPN-S 01112019 (reopening) Rp6,441 triliun, SPN-S 15052020 (new issuance) Rp5,810 triliun,PBS014(reopening) Rp4,430 triliun, PBS015(reopening) Rp1,484 triliun, PBS022 (reopening) Rp1,226 triliun,PBS019(reopening) Rp1,0716 triliun.
Penyerapan tertinggi terjadi pada seri SPN-S 01112019 (reopening) Rp2triliun, SPN-S 15052020 (new issuance) Rp Rp1,200 triliun,PBS022 (reopening) Rp1,040 triliun,PBS019(reopening) Rp0,360 triliun , PBS014(reopening), Rp0,550 triliun.
Adapun, yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan untuk masing-masing seri yakni SPN 6 bulan 6,473%, SPN 12 bulan 6,72%, PBS014 7,35998%, PBS019 7,67944%, PBS022 8,84301%