Bisnis.com, JAKARTA - Pergerakan rupiah diprediksi akan kembali tertekan dan bertahan di zona merah pada perdagangan pekan ini akibat data ekonomi AS yang mampu dirilis relatif baik.
Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang perdagangan pekan lalu, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terlemah kedua di Asia, telah melemah 1,085% di bawah won yang melemah 2,068% melawan dolar AS.
Rupiah ditutup di level Rp14.199 per dolar AS, melemah 0,092% atau naik 13 poin melawan dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (26/4/2019).
Walaupun demikian, hampir semua nilai tukar di kelompok mata uang Asia tidak diberi kesempatan untuk menguat melawan kuatnya dolar AS akibat data ekonomi AS yang menunjukkan pertumbuhan.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa rilis data ekonomi AS yang terus saja positif telah menekan pergerakan rupiah pekan lalu yang diprediksi akan berlanjut hingga pekan ini.
Pada Maret, pemesanan barang tahan lama yang diproduksi di AS naik 2,7% dibandingkan dengan pencapaian bulan lalu, menjadi keniaikan paling tajam sejak Agustus 2018.
Kemudian, pemesanan barang modal inti, non pertahanan dan pesawat, berhasil naik 1,3% secara month on month, menjadi US$70 miliar sehingga menjadi angka tertinggi sepanjang sejarah dan pertumbuhan terbaik sejak Juli 2018.
Belum lagi ditambah, PDB AS kuartal I/2019 yang berhasil sentuh 3,2%, lebih tinggi daripada perkiraan pasar sebesar 2,3%.
"Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha di Negeri Adidaya masih kuat dan ekspansif. Artinya, meski ekonomi melambat, tidak akan melemah terlalu signifikan. Rasanya AS tidak akan mengalami hard landing," ujar Ibrahim kepada Bisnis, Minggu (28/4/2019).
Menurut dia, dari dalam negeri hampir tidak terdapat sentimen yang dapat menolong pelemahan rupiah.
Rapat dewan gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk bertahan dengan suku bunga di level 6%, sama dengan yang di ekspetasi pasar sehingga dampaknya menjadi netral terhadap rupiah.
Ibrahim mengakui sulit bagi BI untuk bermanuver dengan kebijakan suku bunganya.
"Menaikkan jelas tidak mungkin, karena tren kebijakan moneter global yang sudah tidak lagi hawkish tahun ini, sedangkan untuk menurunkan juga agak ngeri-ngeri sedap. Pasalnya, salah satu tujuan kebijakan suku bunga adalah mengendalikan defisit transaksi berjalan," papar Ibrahim.
BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan melebar pada kuartal II/2019 seiring dengan faktor musiman peningkatan impor untuk antisipasi kenaikan konsumsi pada Ramadan-Idul Fitri dan kebutuhan valas korporasi untuk pembayaran utang, dividen, dan sebagainya.
Proyeksi harga minyak yang akan terus melanjutkan penguatan akibat pencabutan keringanan sanksi minyak Iran juga menjadi katalis negatif rupiah pada pekan ini.
Di sisi lain, pasar tengah menanti hasil FOMC yang akan diselenggarakan pada Rabu (1/5/2019). Ibrahim memprediksi The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga pada akhir tahun.
Hal tersebut dikarenakan sengketa perdagangan antara AS dan China diprediksi akan selesai pada akhir Mei mendatang sehingga menjadi sinyal bagi pertumbuhan ekonomi global yang kemungkinan gagal untuk melemah pada paruh kedua tahun ini.
Bank Dunia pun diprediksi kembali merivisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari negatif menjadi positif sehingga akan berdampak pada pergerakan rupiah dan komoditas menjadi lebih positif.
Ibrahim memprediksi rupiah akan bergerak di level Rp14.142 hingga Rp14.230 per dolar AS pada pekan ini.