Bisnis.com, JAKARTA – Saham Facebook melonjak setelah raksasa media sosial ini membukukan pertumbuhan penjualan kuartalan yang kuat dan mengisyaratkan kemungkinan untuk menyelesaikan investigasi mengenai pelanggaran privasi.
Dalam pernyataannya pada Rabu (24/4/2019), Facebook melaporkan lonjakan penjualan kuartal pertama sebesar 26 persen menjadi US$15,1 miliar, melampaui perkiraan rata-rata analis dalam survei Bloomberg untuk raihan sebesar US$14,97 miliar.
Sementara itu, jumlah pengunjung bulanan website utama perusahaan melampaui proyeksi. Jumlah penggunanya kini mencapai 1,56 miliar setiap hari, sesuai dengan perkiraan Wall Street, dan mencapai rata-rata 2,38 miliar per bulan, sedikit lebih baik dari ekspektasi.
Menyusul laporan itu, harga saham Facebook pun meloncat mencapai US$202,25 pada perpanjangan perdagangan Rabu, setelah ditutup turun kurang dari 1 persen ke level US$182,58 di New York. Dengan demikian, sepanjang tahun 2019, saham Facebook telah naik sekitar 39 persen.
Raihan pendapatan yang lebih baik dari ekspektasi tersebut menunjukkan bahwa dampak serangkaian pelanggaran privasi, skandal, dan pertanyaan soal pengaruh perusahaan pada wacana politik belum berpengaruh pada para pengguna dan pengiklan.
Bisnis Facebook tetap tangguh terutama pada kekuatan jaringannya yang luas dengan rata-rata jumlah pengguna bulanan sebesar 2,7 miliar serta kemampuannya untuk memungkinkan para pemasar secara tepat menargetkan mereka dengan iklan.
Peningkatan penjualan perusahaan semakin didorong oleh aplikasi berbagi foto Instagram dan beriklan di fitur Stories-nya.
Facebook juga baru-baru ini mulai menguji produk e-commerce bernama Checkout, yang memungkinkan siapa saja untuk membeli produk di Instagram. Ini menjadi potensi sumber pendapatan lain melalui aplikasi itu yang tengah tumbuh cepat.
Menurut Chief Operating Officer Facebook Sheryl Sandberg, lebih dari separuh miliar orang menggunakan masing-masing dari tiga produk Stories setiap hari dan 3 juta pengiklan memanfaatkan fitur itu di seluruh jaringan.
“Kami tentunya melihat banyak nilai untuk bisnis di Instagram, dan kami meyakini hal yang sama pada Facebook,” ujar Sandberg dalam suatu teleconference pada Rabu (24/4), seperti dilansir Bloomberg.
Dalam risetnya pascarilis laporan Facebook, Analis EMarketer Debra Aho Williamson, menerangkan bahwa para pengiklan terus terpikat pada Facebook, terlepas dari banyaknya tantangan yang dihadapi perusahaan.
“Yang paling mereka pedulikan adalah basis pengguna yang luas dan kemampuan penargetannya,” tambah Williamson.
Selama beberapa tahun terakhir, Facebook telah menghadapi pengawasan ketat terkait jumlah informasi pribadi yang dikumpulkan dari pengguna, serta bagaimana perusahaan melindungi dan membagikan data tersebut.
Sejak laporan pada Maret 2018 mengenai data pribadi puluhan juta pengguna dan kaitannya dengan skandal Cambridge Analytica, Facebook telah menjadi subjek penyelidikan oleh pemerintahan negara-negara di seluruh dunia.
Awal bulan ini, perusahaan menghadapi kritik baru karena terlalu lama untuk menghapus video langsung penembakan massal di Selandia Baru.
Sebagai upaya membendung gelombang kritikan, CEO Facebook Mark Zuckerberg baru-baru ini menyerukan peraturan global baru soal internet, dengan merekomendasikan pemerintah membuat aturan tentang konten kekerasan, integritas pemilu, privasi, dan portabilitas data.
Kemudian pada Rabu (24/4), Zuckerberg menegaskan kembali fokus Facebook membangun platform yang berpusat pada privasi, yang dikatakan akan mengurangi kekhawatiran para pengguna tentang privasi atau pun unggahan mereka.