Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pertumbuhan Nilai Transaksi Broker Kuartal I 2019 Melambat

Transaksi broker sepanjang kuartal pertama 2019 tumbuh terbatas dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Bisnis.com, JAKARTA—Transaksi broker sepanjang kuartal pertama 2019 tumbuh terbatas dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal itu ditengarai karena turunnya aktivitas transaksi pada akhir kuartal pertama tahun ini karena sikap menunda investor.

Berdasarkan data Bloomberg, total transaksi broker sepanjang kuartal I/2019 mencapai Rp1.158,86 triliun. Nilai ini hanya meningkat tipis dibandingkan nilai transaksi broker pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.123,72 triliun. Kenaikannya hanya 3%.

Padahal, kenaikan nilai transaksi pada kuartal I/2018 dibandingkan kuartal I/2017 mencapai 30,42%. Pada kuartal I/2017, nilai transaksi broker hanya Rp861,47 triliun.

Pada kuartal I/2019, broker juara masih ditempati Mandiri Sekuritas dengan total nilai transaksi Rp82,75 triliun, terdiri atas transaksi beli sebesar Rp40,99 triliun dan transaksi jual Rp41,76 triliun. Pada kuartal pertama tahun lalu, Mandiri Sekuritas berada di urutan kedua setelah Credit Suisse Securities.

Namun, pada kuartal pertama tahun ini, Credit Suisse Securities berada di urutan ke-7 dengan nilai transaksi total Rp40,22 triliun.

Di lima besar setelah Mandiri Sekuritas, broker teraktif yakni Mirae Asset Sekuritas dengan nilai transaksi Rp57,5 triliun, CIMB Securities Indonesia Rp54,64 triliun, Morgan Stanley Indonesia Rp49,8 triliun, dan Macquarie Capital Securities Rp45,5 triliun.

Rendahnya peningkatan transaksi broker sepanjang kuartal pertama tahun ini terjadi seiring kenaikan nilai rata-rata transaksi harian yang terbatas. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, pada kuartal I/2019, nilai transaksi harian rata-rata mencapai Rp9,7 triliun per hari.

Padahal, pada kuartal I/2018, nilainya mencapai Rp10,54 triliun. Aktivitas transaksi di pasar saham pada kuartal pertama tahun 2018 memang sangat aktif, sebelum akhirnya mulai turun pada kuartal-kuartal selanjutnya akibat beragam sentimen negatif eksternal.

Desmon Silitonga, Riset Analis Capital Asset Management, mengatakan bahwa relatif terbatasnya aktivitas transaksi di pasar saham pada awal tahun ini disebabkan karena valuasinya sudah terlalu mahal. Price to earning (PE) ratio IHSG sudah cukup tinggi dibandingkan beberapa negara Asean.

Sepanjang kuartal I/2019, kinerja IHSG tumbuh sebesar 4,43% ytd, tetapi itu bukanlah yang terbaik di kawasan. Kinerja IHSG berada pada urutan 12 dari 13 negara di Asia Pasifik.

Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi pasar global memang membaik di awal tahun ini, tetapi Indonesia bukanlah pasar terfavorit di Asia Pasifik. Bahkan, di antara 36 negara dengan indeks acuan global, kinerja IHSG berada di urutan ke 28.

“Asing sedikit hati-hati masuk di pasar saham kita karena valuasinya sudah cukup tinggi. Mereka juga melihat faktor pemilu ini belum pasti. Walapun survey unggulkan petahana, tetapi pengalaman pemilu di Amerika Serikat yang hasilnya berbeda dari ekspektasi konsensus menjadi pelajaran bagi mereka untuk hati-hati,” katanya, Kamis (4/4/2019).

Desmon mengatakan, ekspektasi konsensus atas kinerja IHSG tahun ini berkisar antara 6.900 – 7.000. Target ini hanya mencerminkan tingkat kenaikan terbatas antara 10% - 12% dibandingkan level tahun lalu. Ini bukanlah level pertumbuhan yang sangat menarik.

Menurutnya, bila laba emiten bisa tumbuh rata-rata 10% tahun ini sudah sangat baik, tetapi itu pun belum tentu tercapai. Lagi pula, emiten-emiten dari negara lain pun kemungkinan berkinerja serupa atau lebih tinggi, sehingga tidak ada pendorong yang luar biasa bagi asing untuk memilih pasar saham Indonesia.

Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas, mengatakan bahwa aktivitas transaksi broker melambat di awal tahun ini, khususnya pada Februari – Maret 2019, disebabkan karena IHSG sudah mengalami rally cukup tinggi selama periode window dressing Desember 2018 dan January effect 2019.

Rally tersebut menyebabkan IHSG menjadi terlalu mahal, sehingga perlahan-lahan investor melakukan divestasi dan mencari instrumen lain. Adanya momen pemilu menjadi alasan tambahan bagi investor untuk sedikit berhati-hati dan menunggu sebelum masuk lagi di pasar. Aktivitas transaksi pun turun.

Frederik menilai, dengan kondisi pasar domestik yang ditandai valuasi yang tinggi serta sentimen politik pemilu yang hampir tiba, memang lebih tepat bagi pelaku pasar untuk tidak terlalu agresif di pasar.

Pasalnya, kebanyakan investor sedang wait and seesehingga volatilitas pasar cenderung terbatas. Hal tersebut bukanlah momentum yang baik bagi para trader yang mengincar keuntungan harian. Namun, investor yang berhorizon investasi jangka panjang bisa saja mencari instrumen yang sedang terdiskon, terutama dari kelompok emiten blue chip.

“Saya perkirakan, baru setelah pemilu nanti aktivitas transaksi [broker] akan mulai meningkat lagi. Jadi, di awal tahun ini memang sifatnya cenderung wait and see,” katany

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper