Bisnis.com, JAKARTA - Tingginya volume ekspor batu bara dari Indonesia bisa menjadi bumerang karena akan berdampak pada harga yang saat ini masih dalam tren negatif.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, produksi batu bara sepanjang tahun lalu mencapai 548,58 juta ton. Jumlah tersebut lebih tinggi 20 juta ton dari catatan awal Januari 2019 sebanyak 528 juta ton.
Dari jumlah tersebut, pasokan untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) hanya sebanyak 115 juta ton. Artinya, ekspor batu bara Indonesia mencapai 433,58 juta ton, dengan asumsi seluruh batu bara berhasil dijual.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan tingginya ekspor tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang menekan harga, apalagi permintaan batu bara dunia cenderung stagnan.
"Tahun lalu kita melihat keran ekspor berlebihan punya dampak terhadap turunnya harga. Kebijakan kita melonggarkan ekspor batu bara sedikit banyak berperan menekan harga batu bara," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (18/2/2019).
Hendra menjelaskan saat ini China masih membatasi impor batu bara kalori rendah. Di sisi lain, Indonesia banyak mengekspor batu bara jenis tersebut, sehingga harganya bisa semakin tertekan.
Adapun Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) Februari 2019 senilai US$91,8 per ton. Nilai tersebut turun tipis 0,66% dari HBA Januari 2019 yang ditetapkan US$92,41 per ton.
Meskipun penurunan bulanan kali ini tidak signifikan, sejak September 2018, HBA terus terkikis dan belum pernah mencetak kenaikan bulanan. Hal tersebut membuat HBA dalam dua bulan pertama di 2019 masih jauh dari rata-rata HBA sepanjang tahun lalu yang mencapai US$98,96 per ton.