Bisnis.com, JAKARTA – Harga batu bara di bursa ICE Newcastle tergelincir dan berakhir di zona merah pada perdagangan Kamis (24/1/2019).
Berdasarkan data Bloomberg, harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak teraktif April 2019 turun 0,90 poin atau 0,89% dan ditutup di level US$100,40 per metrik ton, setelah mampu berakhir menguat 1,05 poin atau 1,05% di level US$101,30 per metrik ton pada perdagangan Rabu (23/1).
Harga batu bara di bursa ICE Rotterdam untuk kontrak teraktif Mei 2019 juga tergelincir bahkan berakhir anjlok 2,25% atau 1,90 poin di posisi 82,60 kemarin, setelah mampu naik 0,12% ke level 84,50 pada Rabu.
Adapun harga batu bara thermal untuk pengiriman Mei 2019 di Zhengzhou Commodity Exchange terus turun pada hari keempat dan ditutup melemah 0,63% atau 3,6 poin di level 572,4 yuan per metrik ton pada perdagangan Kamis.
Kontrak berjangka batu bara telah melemah setelah naik sekitar 5,5% pekan lalu, menyusul kecelakaan tambang di Shaanxi, China, pada 12 Januari sehingga mendorong pemeriksaan keselamatan yang lebih ketat dan pembatasan output.
“Ekspektasi suplai yang lebih ketat telah mereda, sementara konsumsi harian terlihat lesu,” jelas Huatai Futures dalam risetnya, seperti dikutip Bloomberg.
Konsumsi batu bara turun karena pabrik-pabrik di seluruh negeri tersebut secara bertahap ditutup untuk liburan Imlek yang akan dimulai pada 4 Februari.
Di sisi lain, harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) berhasil rebound dan ditutup menguat didorong prospek penurunan pasokan menyusul ketidakstabilan di Venezuela, yang mengimbangi kenaikan output minyak shale AS.
Pada perdagangan Kamis (24/1), harga minyak mentah West Texas Intermediate untuk pengiriman Maret berakhir menguat sekitar 1% atau 0,51 poin di level US$53,13 per barel di New York Mercantile Exchange, setelah tertekan dua hari berturut-turut sebelumnya.
Namun minyak patokan global Brent, yang kurang terpengaruh oleh sentimen pasokan di Venezuela, ditutup turun 0,05 poin atau 0,08% di level US$61,09 di ICE Futures Europe exchange yang berbasis di London.
Presiden Venezuela Nicolas Maduro menentang tekanan AS dan negara-negara lain untuk menyerahkan kendali atas negaranya yang memegang cadangan minyak mentah terbesar di dunia.
Laporan Departemen Energi AS yang menunjukkan peningkatan terbesar dalam cadangan minyak mentah domestik sejak November dan rekor persediaan bensin sebagian besar diabaikan oleh investor.
"Ini adalah tentang pelaku pasar yang mengawasi kekhawatiran pasokan dari Venezuela," kata Marshall Steeves, analis pasar energi di Informa Economics IG di New York, seperti dikutip Bloomberg.
Pasar minyak mentah mencatat awal terbaik mereka dalam 18 tahun di tengah optimisme pengurangan produksi oleh Arab Saudi, Rusia dan produsen utama lainnya, meskipun sedikit goyah dalam beberapa hari terakhir karena data menunjukkan peningkatan produksi di AS dan melemahnya pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.
Presiden AS Donald Trump disebut sedang mempertimbangkan sanksi baru terhadap Venezuela karena Maduro menghadapi salah satu tantangan terberat yang pernah ada pada masa pemerintahannya.
Sentimen bullish dapat pulih kembali jika Trump menindaklanjuti ancaman untuk memperluas sanksi terhadap anggota OPEC Venezuela, sehingga memaksa beberapa penyuling Pantai Teluk untuk mencari pasokan baru.
AS menambah tekanan pada rezim Maduro pada hari Rabu dengan mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara negara itu.
"Dengan AS sekarang jelas memihak oposisi, perubahan mungkin akan terjadi," kata Tamas Varga, seorang analis di PVM Oil Associates Ltd, seperti dikutip Bloomberg.
"Ini akan memberikan pukulan lebih lanjut ke penyuling AS yang mengandalkan minyak dari Venezuela yang masih tersedia dan karenanya akan menjadi bullish jangka pendek."
Pergerakan harga batu bara kontrak April 2019 di bursa Newcastle
Tanggal | US$/MT |
24 Januari | 100,40 (-0,89%) |
23 Januari | 101,30 (+1,05%) |
22 Januari | 100,25 (+0,15%) |
21 Januari | 100,10 (-1,23%) |
18 Januari | 101,35 (+0,05%) |
Sumber: Bloomberg