Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga bergerak stagnan pada perdagangan Senin (7/1/2019) setelah mengalami peningkatan tajam dalam tiga bulan terakhir seiring dengan harapan investor terkait dengan China yang akan meningkatkan pinjaman yang akan diikuti dengan kemajuan dalam perundingan perdagangan antara China dan AS.
Selain itu, harga juga dipengaruh oleh pelemahan dolar AS setelah Ketua The Fed Jerome Powell yang memberikan sinyal laju kenaikan suku bunga AS dapat melambat.
Analis ING, Warren Patterson mengatakan, harga tembaga akan kembali jatuh jika perundingan perdagangan AS dan China gagal membuahkan hasil yang positif.
“Walaupun, ketatnya pasokan tembaga dan industri metal lainnya akan menopang harga sepanjang tahun ini, sehingga kami memprediksi tembaga akan bergerak di level US$6.400 per ton di kuartal kedua dan meningkat hingga US$7.000 per ton pada akhir 2019,” ujar Warren seperti dikutip dari Reuters, Selasa (8/1/2019).
Adapun, pada penutupan perdagangan Senin (7/1/2018), semua harga metal di bursa London Metal Exchange ditutup pada zona hijau. Harga seng memimpin peningkatan sebasar 2,46% menjadi US$2.498 per ton. Sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd), harga masih meningkat 1,26%. Kemudian dilanjutkan timah yang naik 1,02% menuju US$19.750 per ton. Secara ytd, harga naik 1,41%.
Aluminium menjadi logam industri dengan peningkatan harian ketiga terbesar, yakni 0,72% menjadi US$1.878 per ton. Secara ytd, harga naik 1,76%. Sementara nikel meningkat 0,41% menuju US$11.115 per ton. Secara ytd, harga masih naik t 4,35%. Timbal naik 0,15% menjadi US$1.953 per ton. Secara ytd, harga merosot 3,36%, tertinggi di antara logam industri lainnya.
Baca Juga
Adapun tembaga, menjadi logam yang naik paling tipis, yakni 0,08% menuju US$5.923. Secara ytd, tembaga sudah menurun 0,70%.