Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Asia kehilangan transaksi senilai US$5,2 triliun sepanjang 2018. Terdapat dua alasan yang membuat hal tersebut terjadi pada perjalanan ekuitas Asia selama 2018 ini, yaitu aksi unjuk rasa dan peningkatan volume pasar ekuitas yang memberi jalan bagi turbulensi dengan menghilangnya peluang transaksi US$5,2 triliun.
Tidak ada keraguan tentang itu. Para investor di Asia memiliki banyak hal yang perlu dikhawatirkan, yakni berayun melintasi aset satu ke aset lain, khawatir terhadap pertumbuhan, khawatir tentang peningkatkan gesekan antara dua negara adidaya dan juga khawatir tentang gejolak dunia di Washington.
Ketika jam transakai penghujung 2018 berakhir, Indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) Asia Pasifik turun 22% dari puncaknya Januari 2018. Tidak banyak reli yang membantu meringankan rasa sakit dari apa yang telah terjadi, dan alhasil tahun ini pun tercatat yang terburuk sejak 2011.
"Sedikit safe havens yang bekerja tahun ini. Ekuitas Asia tidak terhindar dari meningkatnya ketegangan perang dagang dan kenaikan suku bunga dan investor kemungkinan terkejut dengan besarnya dampak terhadap pasar," kata Jason Low, ahli strategi investasi senior dengan unit manajemen kekayaan DBS Group Holdings seperti dilaporkan Bloomberg, Senin (31/12/2018).
Dari kekalahan di saham teknologi hingga kemerosotan raksasa di pasar Cina, berikut adalah kisah-kisah terpenting yang mendorong pasar saham Asia melewati tahun 2018 yang kasar.
Menurut ukuran volatilitas 90 hari di MSCI Asia Pacific Index, turbulensi kembali dengan dendam saham di seluruh wilayah, dan kita juga telah menyaksikan perubahan harga paling ganas di hampir seluruh negara.
Sebaliknya, kenaikan selama hampir satu dekade di ekuitas AS menunjukkan tanda-tanda kehidupan, tetapi keuntungan pada awal tahun di pasar Asia terbukti kurang tahan lama.
Saham regional secara keseluruhan turun sebanyak 24% dari puncak ke palung tahun ini, dan bahkan pasar utama termasuk Jepang, Hong Kong dan Shanghai bernasib lebih buruk.
Dengan banyaknya benchmark di pasar negara berkembang ini, kekalahan telah mengirim MSCI Emerging Markets Index sekitar 24 persen lebih rendah sejak Januari.
Adapun, kinerja buruk tahun ini disebabkan oleh meningkatnya konflik perdagangan antara China dan AS, yang telah mengancam untuk mengetatkan ekonomi global dan mengganggu rantai pasokan di seluruh Asia.
Eksportir seperti pedagang barang konsumen Li & Fung Ltd. di Hong Kong telah terpukul sangat keras, dan kita melihat lebih dari 70% nilai pasarnya menguap sejak Mei 2018.
Tapi salah satu sorotan pasar terbesar adalah kapitalisasi investor teknologi saat kohort FAANG tersandung. Apple Inc. dan Amazon.com Inc. anjlok sekitar 30% di paruh tahun lalu.
Saham-saham Internet di Asia juga tidak bernasib lebih baik karena Tencent Holdings Ltd. anjlok hingga 47%. Pembuat chip dan produsen perangkat keras menderita karena permintaan smartphone yang tinggi tetap menjadi beban bagi industri sepanjang tahun.
Investor Cina disambut dengan tonggak yang tidak ramah. Shanghai Composite Index hampir 25% di bawah titik mulainya tahun ini. Hal ini menjadikannya pasar saham utama berkinerja terburuk di dunia.
Perang perdagangan melenyapkan sekitar US$2,4 triliun tahun ini. Selain itu, ada juga upaya pengurangan utang dengan menekan margin menjadi hanya sepertiga dari puncaknya pada tahun 2015.
Lalu bagaimana selanjutnya? sulit untuk mengesampingkan risiko peristiwa. Bahkan Jingyi Pan, pasar strategist di IG Asia Pte mengatakan ragu akan pemulihan pada tahun depan.
"Bagaimana harga akan bergerak sesuai dengan kinerja pertumbuhan setelah melewati pertarungan saat ini. Semuanya akan terkait pada apakah kita bisa melihat pemulihan keseimbangan ke pasar, yang mana kita sendiri diliputi oleh ketakutan," katanya.