Bisnis.com, JAKARTA – Kekhawatiran atas prospek pertumbuhan ekonomi global dan gejolak harga minyak mentah menjadi perhatian utama di antara berbagai faktor yang memengaruhi pergerakan harga karet di bursa Tokyo sepanjang tahun 2018.
Pada akhir perdagangan Jumat (21/12/2018), pergerakan harga karet untuk kontrak teraktif Mei 2019 di Tokyo Commodity Exchange (Tocom) ditutup melemah 0,75% atau 1,30 poin di level 173 yen per kg.
Harga karet terseret aksi jual meluas yang melanda pasar ekuitas di seluruh dunia di tengah rentannya sentimen untuk aset-aset berisiko akibat kekhawatiran mengenai pertumbuhan global.
Pasar saham dunia melanjutkan aksi jualnya pada perdagangan Jumat ketika prospek kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve semakin meresahkan investor bahwa pertumbuhan ekonomi global sedang melambat.
Menambah kekhawatiran pasar adalah laporan dakwaan oleh Departemen Kehakiman AS terhadap beberapa warga China atas tuduhan operasi spionase yang telah berlangsung selama satu dekade untuk mencuri kekayaan intelektual dan data lainnya dari perusahaan-perusahan di AS.
Meski Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin telah menegaskan bahwa kasus ini tidak terkait dengan negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung antara AS dan China, pasar tetap mengkhawatirkan dampaknya terhadap eskalasi tensi antara dua ekonomi terbesar di dunia ini.
“Tensi antara AS dan China dilihat negatif bagi [prospek] pertumbuhan China dan permintaan untuk bahan-bahan bakunya,” terang Makiko Tsugata, analis di Mizuho Securities, seperti dilansir Bloomberg.
Senada dengan Tsugata, Senior Research and Analyst PT Asia Tradepoint Futures, Andri Hardianto, mengutarakan prospek perlambatan ekonomi global utamanya terkait dengan perang dagang AS-China menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi komoditas pada umumnya.
“Saat ini memang AS-China sedang berada dalam masa jeda 90 hari [untuk bernegosiasi dan tidak mengenakan tarif lebih lanjut], tetapi jika perang dagang AS-China berlanjut [setelah periode itu berakhir], maka akan memengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi,” jelas Andri saat dihubungi Bisnis.com.
Pertumbuhan ekonomi yang tersendat, lanjutnya, sudah pasti berdampak pada prospek permintaan global dan akhirnya pada harga komoditas.
Di tengah kekhawatiran geopolitik ini, harga karet juga terdampak oleh pergerakan nilai tukar yen terhadap dolar AS. Berkurangnya daya tarik aset berisiko mendongkrak minat investor terhadap yen sebagai aset safe haven dalam beberapa waktu terakhir.
Apresiasi nilai tukar yen diketahui membuat harga komoditas yang diperdagangkan dalam mata uang ini menjadi relatif lebih mahal bagi para pembeli luar negeri. Alhasil, permintaan akan komoditas ini berpotensi menyusut.
Sebaliknya, tak jarang harga karet diuntungkan dari pelemahan nilai tukar yen terhadap dolar AS, salah satunya setelah pemerintah AS dan China dikabarkan mencapai kesepakatan 'gencatan senjata' pengenaan tarif pada 1 Desember.
“Minat investor untuk kontrak berjangka karet meningkat seiring melemahnya mata uang Jepang yang membuat komoditas berdenominasi yen ini lebih terjangkau bagi pembeli asing,” ujar Kazuhiko Saito, analis perusahaan broker Fujitomi.
Mengingat perannya sebagai bahan baku pembuatan ban, karet jelas juga mendapatkan keuntungan atas terdorongnya prospek permintaan dari para eksportir ban.
Awal bulan ini saja, harga karet terdongkrak antisipasi bahwa permintaan dari eksportir-eksportir ban dapat meningkat setelah China berjanji untuk menindaklanjuti ‘gencatan senjata’ perdagangan yang dicapai dengan AS di Buenos Aires, Argentina.
“Hal tersebut telah mendorong optimisme pertumbuhan pengiriman ban ketika volume mobil yang tidak terjual di China mencapai level tertinggi yang pernah ada,” kata Zhang Weiwei, analis New Era Futures.
Penjualan mobil di China telah menurun selama lima bulan berturut-turut dan berada di jalur untuk penurunan pertama secara tahunan dalam setidaknya dua dekade saat konflik perdagangan dengan AS membebani permintaan dan daya belanja.
Namun, Zhang juga mengingatkan bahwa penguatan harga dapat terjadi sementara karena secara fundamental belum terlihat adanya peningkatan saat kondisi kelebihan suplai bertahan, utamanya di China.
Jumlah stok karet yang dimonitor oleh Shanghai Futures Exchange dilaporkan berekspansi 4,9% pekan lalu, peningkatan terbesar sejak November 2017.
Efek Minyak & Harapan Pengendalian Produksi
Setelah mengawali tahun ini dengan pergerakan yang relatif kuat, harga minyak mentah kian merosot karena tak mampu membendung ancaman sentimen kelebihan pasokan.
Sepanjang tahun berjalan hingga perdagangan 21 Desember 2018 (year-to-date) harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tercatat telah melorot sekitar 22%.
Tajamnya kemerosotan harga minyak mentah serta merta menyeret harga karet turun karena membebani ekspektasi bahwa harga karet sintetis juga akan melemah. Sepanjang periode yang sama (year-to-date) harga karet di bursa Tocom telah merosot sekitar 28%, berdasarkan data Bloomberg.
Seperti diketahui, karet sintetis yang menjadi bahan subtitusi utama karet alam dibuat dari polimer turunan minyak, sehingga pergerakan harganya jelas dipengaruhi harga minyak yang menjadi bahan baku asalnya.
“Harga minyak mentah yang lebih rendah membebani karet,” ujar Gu Jiong, analis di perusahaan broker Yutaka Shoji.
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan kaitan antara minyak dan karet sangat dekat dan korelasional, meskipun derajatnya bervariasi pada kerangka waktu tertentu.
“Pelemahan minyak tentu menekan karet dan bisa juga sebaliknya. Secara medium term atau untuk tahun berjalan 2018, relasi [antara karet dan minyak] masih dekat, cenderung lemah,” jelasnya kepada Bisnis.com.
Kendati demikian, karet mampu membatasi pelemahan yang dialaminya didukung wacana pemangkasan ekspor oleh tiga negara penghasil karet top dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Harga karet kontrak Mei 2019 di bursa Tocom bahkan mengakhiri perdagangan Kamis (20/12) dengan lonjakan nyaris 2% di tengah ekspektasi bahwa Thailand, Malaysia, dan Indonesia akan mencapai kesepakatan dalam langkah-langkah pengendalian produksi guna menopang harga karet.
“Harga kembali pulih setelah sejumlah produsen utama mempertimbangkan mengambil langkah-langkah tambahan untuk mendorong pasar,” kata Takaki Shigemoto, analis di perusahaan riset JSC.
Pejabat otoritas dari masing-masing ketiga negara tersebut dijadwalkan akan bertemu sebelum akhir tahun demi mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan harga mulai awal 2019.
Berdasarkan data Bisnis, Indonesia telah menyuarakan kembali pengendalian volume ekspor karet oleh anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC) demi mendongkrak harga komoditas perkebunan tersebut.
Tahun lalu, dalam pertemuan yang digelar di Bangkok, Thailand pada 22 Desember 2017, ketiga negara produsen karet sepakat untuk memangkas volume ekspor karet sebesar 350.000 ton melalui kerangka Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) atau pembatasan ekspor karet sampai dengan Maret 2018.
Dalam pembatasan tersebut, Indonesia mendapatkan jatah untuk memangkas ekspor karetnya hingga 95.190 ton, Thailand 234.810 ton, dan Malaysia 20.000 ton. Namun, upaya tersebut gagal mengerek harga karet secara signifikan.
Pasalnya, harga karet di Tokyo Commodity Exchange pada akhir Maret 2018 hanya mencapai 187,86 yen/kg, jauh di bawah harga tertinggi yang pernah dicapai selama 5 tahun terakhir pada Januari 2017 yang menyentuh 295 yen/kg.
“Hasil evaluasi kami beberapa waktu lalu, ada kebocoran dan ketidakpatuhan di tingkat produsen di 3 negara dalam melaksanakan AETS. Untuk itu, pertama-tama kami akan menegaskan pentingnya kepatuhan demi kepentingan bersama produsen karet,” terang Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo.
Untuk itu, salah satu upaya paling mendesak yang perlu dilakukan oleh ITRC adalah menarik Vietnam untuk masuk menjadi anggota ITRC.
“Saat ini, 3 negara anggota ITRC hanya mampu menguasai pasar karet global sebesar 71%. Namun, pangsa pasar karet yang dikuasai bisa meningkat menjadi 90% apabila Vietnam bergabung dalam ITRC,” jelas Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Azis Pane, seperti diberitakan Bisnis.com.
Menurut Analis PT Asia Tradepoint Futures, Andri Hardianto, kesepakatan yang dicapai ITRC tentunya akan menopang harga karet yang telah terbebani pelemahan harga minyak mentah.
Namun, ia mengingatkan bahwa seperti halnya OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak) beserta sekutu-sekutunya, keberhasilan kesepakatan ITRC akan ditentukan oleh tingkat kepatuhan masing-masing anggotanya.
“Tidak boleh memikirkan kepentingan masing-masing, ketiga negara [atau jika ditambah dengan Vietnam] harus sama-sama mematuhi kesepakatan itu,” ujar Andri.
Sementara itu, Analis Wahyu Tribowo Laksono menambahkan bahwa faktor terkait pelemahan minyak dan permintaan masih akan menjadi ancaman bagi pergerakan harga karet di masa mendatang.
“Jika ITRC tegas soal kebijakan pemangkasan rebound karet pun bisa kuat. Hanya saja faktor pelemahan minyak dan permintaan masih akan menjadi ancaman bagi karet ke depan, salah satunya sentimen negatif dari China,” jelas Wahyu.
Hal ini mengingat peran penting China terhadap pasar karet alami dengan kontribusinya sekitar 40% dari konsumsi global. Oleh karenanya, perkembangan perdagangan China dengan AS berikutnya perlu dicermati karena berdampak pada sentimen permintaan.