Bisnis.com, JAKARTA – Emiten petrokimia terintegrasi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. membukukan penurunan laba bersih yang cukup signifikan yaitu sebesar 33,7% selama semester I/2018 menjadi US5,5 juta, dari semester I/2017 yang sebesar US$174,2 juta.
Sekretaris Perusahaan Chandra Asri Petrochemical Suryandy menyampaikan aa beberapa faktor yang menyebabkan perusahaan membukukan penurunan laba bersih pada paruh pertama tahun ini. Pertama, kenaikan naphta yang terimbas dari kenaikan harga minyak dunia.
Kedua, dari sisi internal perusahaan, Chandra Asri selama 95 hari terhitung Maret—Juni 2018 melakukan shutdown pada pabrik butadienanya karena harus melalui siklus maintenance empat tahunan, sekaligus untuk mengoperasikannya dengan kapasitas baru yaitu 137.000 ton per tahun dari sebelumnya 130.000 ton per tahun.
Terakhir, emiten dengan kode saham TPIA tersebut harus menghadapi pengurangan hari operasional karena penutupan ruas jalan saat menjelang Lebaran.
“Industri petrokimia di manapun di dunia sangat rentan dengan perubahan harga minyak dan kondisi supply and demand. Saat harga minyak naik, bahan baku utama kami yaitu naphta juga mengalami kenaikan,” ungkap Suryandy di Jakarta, Kamis (6/9).
Berdasarkan catatan perusahaan harga naphta pada kuartal II/2018 meningkat rata-rata 29% menjadi sekitar US$627 per ton. Menurut Suryandy, perseroan tidak dapat langsung menaikkan harga jual karena harus tetap berpatokan pada harga produk petrokimia global.
Utilisasi pabrik cracker perseroan pada semester I/2018 yaitu sebesar 97% atau sedikit lebih rendah dari semester I/2017 yang mencapai 98%. Karena dihentikan sementara operasinya, tingkat operasi pabrik butadiene menyentuh 54%, dibandingkan 116% pada semester I/2017.
Kenaikan harga bahan baku pun mengerek beban pokok pendapatan perseroan yang pada semester I/2018 mencapai 1,05 miliar, atau meningkat 16,1% dari beban pokok pada periode sama tahun lalu yang sebesar US$903,1 juta.
Perseroan membukukan pendapatan bersih dengan tingkat kenaikan lebih kecil dibandingkan dengan beban pokok pendapatan, yaitu 7,6% dari US$1,19 miliar menjadi US$1,28 miliar.
“Meski harga bahan baku meningkat, pada semester I/2018 ini kami masih membukukan margin keuntungan sebesar 18% atau lebih tinggi dari rata-rata industri yaitu 10%—12%. Namun, margin profit itu lebih rendah dari semester I/2017 yang mencapai 24%,” jelas Suryandy.