Bisnis.com, JAKARTA -- Kegiatan pasar modal di Indonesia mulai dilakukan pada era penjajahan Belanda. Lalu, kegiatan pasar modal pasca kemerdekaan baru mulai beraktivitas lancar setelah diresmikan oleh Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia, pada 10 Agustus 1977. Kala itu, PT Semen Cibinong Tbk. menjadi emiten pertama yang melantai di Bursa Efek Jakarta (sekarang, Bursa Efek Indonesia).
Saat itu, Semen Cibinong melepas 178.750 sahamnya ke publik. Lalu, jelang krisis 1998, Semen Cibinong yang memiliki merek produk Semen Kujang itu diakuisisi 100% oleh grup Tirta Mas. Saat itu, salah satu direksi Tirta Mas adalah adik Prabowo Subianto yakni, Hashim Djojohadikusumo.
Tiga tahun berselang, Semen Cibinong melakukan aksi penerbitan saham baru atau rights issue non-Hak Memesan Efek Terlebih Dulu (HMETD). Emiten berkode SMCB itu melepas 6,51 juta saham baru pada 2001.
Holcim Participation (Mauritius) Ltd. pun mengambil kesempatan itu untuk masuk ke Semen Cibinong. Akhirnya, Holcim memiliki 77,33% saham Semen Cibinong.
Empat tahun berjalan, Holcim Participation mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya di Semen Cibinong kepada Holdervin BV senilai Rp2,47 triliun pada 2005. Holdervin BV adalah perusahaan Belanda yang juga induk usaha dari Holcim.
Baca Juga
Setahun berselang dari aksi korporasi Holcim itu, Semen Cibinong pun berganti nama menjadi Holcim Indonesia pada 1 Januari 2006. Perubahan nama itu juga mempengaruhi nama anak usaha perseroan seperti, PT Trumix Beton menjadi PT Holcim Beton.
Satu dekade selanjutnya, Holcim Indonesia mengakuisisi 100% saham PT Lafarge Cement Indonesia senilai Rp2,13 triliun.
Aksi akuisisi itu memiliki hubungan dengan aksi korporasi induk usahanya. Pada 2015, Holcim di Swiss melakukan merger dengan Lafarge, perusahaan semen asal Prancis, dan berganti nama menjadi LafargeHolcim Ltd. Aksi merger perusahaan semen asal Swiss dan Prancis itu pun sempat disebut bakal melahirkan raksasa semen dunia.
Namun, pada Juni 2018, muncul isu kalau LafargeHolcim berniat melakukan divestasi pada Holcim Indonesia.
Sayangnya, pada keterbukaan informasi di BEI, pihak Holcim Indonesia hanya menyanggah dan sejauh ini tidak menerima informasi resmi terkait rencana aksi korporasi itu dari para pemegang saham pengendali.
Di sisi lain, pada kuartal I/2018, kinerja Holcim Indonesia memang masih merugi.
SMCB mencatat nilai rugi tahun berjalan senilai Rp332,37 miliar. Nilai itu lebih besar ketimbang rugi tahun berjalan kuartal I/2017 yang senilai Rp116,48 miliar.
Walaupun dari sisi pendapatan, Holcim masih mencatatkan kenaikan sebesar 1,98% menjadi Rp2,2 triliun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.
Saat ini, komposisi pemegang saham Holcim Indonesia antara lain, 80,64% dipegang oleh Holderfin B.V The Netherlands (induk usaha LafargeHolcim), 15% dipegang pemodal asing, dan 4,36% dipegang oleh publik.