Bisnis.com, JAKARTA—Emiten perdagangan alat berat PT Intraco Penta Tbk. (INTA) membidik kenaikan pendapatan sekitar 25% pada 2018 menjadi Rp2,58 triliun seiring dengan pertumbuhan permintaan sektor pertambangan dan infrastruktur.
Direktur Keuangan Intraco Penta Fred Lopez Manibog menyampaikan, INTA memiliki tiga lini bisnis utama, yakni alat berat, pembuatan komponen infrastruktur, dan pembakit listrik. Segmen alat berat mendominasi pendapatan lebih dari 70%, komponen infrastruktur menyumbang 10%-15%, dan sisanya pendapatan lain.
Selama ini, segmen alat berat didorong oleh industri pertambangan batu bara. Dengan prospek bisnis batu bara yang masih cerah, INTA setidaknya bisa membukukan kenaikan pendapatan 25% pada 2018.
"Pendapatan pada 2018 sangat optimistis karena harga batu bara cemerlang. Target konservatif setidaknya pendapatan minimal [tumbuh] 25%," ujarnya setelah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), Jumat (18/5/2018).
Pada 2017, INTA membukukan pendapatan 2,07 triliun, naik 37,32% year-on-year (yoy). Sesuai estimasi pertumbuhan 25% pada 2018, perusahaan membidik pendapatan Rp2,58 triliun.
Selain harga komoditas, faktor lain yang mendorong kinerja INTA pada 2018 ialah masih maraknya pembangunan infrastruktur. Hal ini meningkatkan pendapatan dari penjualan alat konstruksi dan anak usaha perseroan yang bergerak di bidang komponen infrastruktur, yakni PT Columbia Chrome Indonesia (CCI).
Fred optmistis pada 2018 INTA juga dapat membalikkan pembukuan kerugian menjadi laba bersih. Pasalnya, anak usaha perusahaan, yakni PT Inta Baruprana Finance Tbk. (IBFN) akan menyelesaikan proses restrukturisasi.
"Kalau proyeksi kami terjadi, kami optimistis ada turn around tahun ini. IBFN mungkin masih rugi, tetapi nilainya mengecil," ujarnya.
Pada tahun ini, perusahaan menganggarkan belanja modal Rp100 miliar, terutama untuk pembelian alat dan pembuatan cetakan komponen infrastruktur. Sumber pendanaan berasal dari kas internal.
Direktur Utama Intaco Penta Petrus Halim mengatakan, dalam RUPSLB ada dua keputusan yang diambil. Pertama, menyetujui konversi piutang menjadi saham IBFN senilai Rp354 miliar. Kedua, menyetujui posisi INTA sebagai corporate gurantee atau penjamin bagi anak usaha.
"Jadi kami mengonversi piutang sebesar Rp354 miliar menjadi penyertaan modal untuk memperkuat permodalan IBFN. Untuk corporate guarantee ini dalam rangka bisnis rutin, karena terkadang diminta oleh kreditur untuk menjadi penjamin bagi anak usaha," paparnya.
Mengenai jumlah saham yang akan dikonversi dari utang, sambung Petrus, manajemen menunggu putusan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, IBFN juga harus mendapat persetujuan melalui RUPSLB.
Dia menambahkan, di lini bisnis kelistrikan, pengembangan pembangkit berkapasitas 2x100 MW di Bengkulu sudah mencapai 30%. Diharapkan fasilitas ini dapat beroperasi penuh pada awal 2020.
Sebelumnya pada Juni 2017, INTA telah menuntaskan akuisisi 30% saham PT Petra Unggul Sejahtera (PUS), pemilik 90% saham PT TJK Power yang mengoperasikan PLTU di Batam berkapasitas 2x55 MW. Pembangkit ini sudah beroperasi sejak 2012.
"Jadi dari bisnis PLTU, pada 2018 kami akan membukukan pendapatan setahun penuh, dibandingkan 2017 yang hanya pertengahan tahun," tuturnya.
Investor Relations Strategist Intraco Penta Ferdinand D. menambahkan, pembukuan rugi bersih INTA per Maret 2018 disebabkan kerugian anak usaha di sektor pembiayaan dalam dua tahun terakhir. Bila restrukturisasi utang IBFN rampung, diharapkan kinerja INTA secara konsolidasi berbalik positif pada tahun ini.
Pada kuartal I/2018 perusahaan meralisasikan penjualan alat berat sejumlah 251 unit, naik 106% yoy dari kuartal I/2017 sebanyak 122 unit. Adapun, nilai penjualan mencapai Rp551,47 miliar, tumbuh 114% yoy dari sebelumnya Rp257,96 miliar.
"Sampai akhir 2018, kami targetkan penjualan alat berat tumbuh 40%," ujarnya.
Tahun lalu, INTA merealisasikan penjualan alat berat sejumlah 629 unit. Mengacu kepada target 2018, artinya perusahaan membidik pemasaran sebanyak 880 unit.
Sektor tambang berkontribusi 69% terhadap total penjualan perseroan pada kuartal I/2018. Selanjutnya, industri umum 13%, infrastruktur 8%, transportasi 8%, dan lain-lain 8%.