Bisnis.com, JAKARTA — Secara mengejutkan, pasar justru kembali terkoreksi pada perdagangan Jumat (18/5/2018) setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga kebijakan BI 7 days repo rate 25 bps sehari sebelumnya. Koreksi terjadi baik di pasar saham, obligasi, maupun kurs rupiah.
Rupiah ditutup melemah 98 poin atau 0,7% ke level Rp14.156 per dolar AS. Sementara itu, IHSG ditutup turun 32,61 poin atau 0,56% ke level 5783, sedangkan yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun meningkat 18 bps ke level 7,34%.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan bahwa pasar negara berkembang memang masih rentan koreksi menimbang ketidakpastian yang masih berlanjut di pasar global. Beberapa hari terakhir, yield US Treasury 10 tahun juga terus bergerak naik ke level di atas 3,1%.
Hans mengatakan, Goldmann Sachs memprediksi yield US Treasury 10 tahun bahkan berpotensi meningkat hingga ke level 3,6% hingga tahun depan akibat tingginya emisi seiring peningkatan defisit anggaran AS pasca kebijakan pemangkasan pajak.
Di sisi lain, China mengancam untuk tidak membeli surat utang Amerika Serikat, bahkan menjual surat utang Amerika Serikat yang dipegang China akibat sentimen perang dagang yang dibangun AS. Padahal, China merupakan salah satu investor terbesar di pasar surat utang Amerika Serikat.
Sentimen ini masih ditambah juga oleh sentimen peningkatan harga minyak global dan ketegangan nuklir. Di dalam negeri juga ada sentimen defisit negara perdagangan dan normalisasi porsi saham Indonesia dalam indeks MSCI emerging market.
Hans menilai, gejolak di pasar saham relatif biasa dan tidak mengkhawatirkan. Dirinya menilai, dengan sentimen-sentimen yang masih ada di pasar saat ini, IHSG cenderung masih akan lama terkonsolidasi di level sekitar 5700-5800.
“Tetapi kemungkinan indeksnya bisa turun hingga 5300 kalau melihat tekanan yang ada dan indek menembus level support 5700. Namun, kami melihat IHSG masih akan fluktuasi, support masih di 5700 dan pasar terkonsolidasi di level ini,” katanya, Jumat (18/5/2018).
Jason Nasrial, Wakil Presiden Senior Royal Investium Sekuritas, mengatakan bahwa saat ini ada kecenderungan investor mengincar instrumen berimbal hasil tinggi di AS dalam denominasi dolar AS, seperti junk bond. Performa sejumlah obligasi korporasi non-investment grade banyak diincar seiring meningkatnya optimisme investor terhadap propek ekonomi AS.
“Tetapi saya yakin cepat atau lambat investor-investor ini harus balik lagi ke emerging market karena banyak yang credit ratingnya bagus. Selain itu, walaupun GDP Amerika Serikat bagus, tetapi current account deficit mereka juga tinggi, sekitar 2,7%. Cepat atau lambat, penguatan dollar akan memudar,” katanya.
Jason mengatakan, setelah Bank Indonesia menaikkan BI 7DRR 25 bps kemarin, investor asing masih melakukan tawar menawar untuk menguji sejauh mana pelemahan mungkin terjadi.
“Saya yakin ini hanya sementara, karena fundamental kita masih sangat aman,” katanya.
I Made Adi Saputra, Kepala Departement Riset Fixed Income MNC Sekuritas, mengatakan bahwa gejolak rupiah memang masih akan berlanjut sehingga turut berpengaruh pada dinamika pasar obligasi dan saham.
Pelemahan lanjutan di pasar pascapenyesuaian suku bunga acuan tidak saja dialami Indonesia. Filipina yang lebih dahulu melakukan penyesuaian suku bunga acuan juga masih mengalami pelemahan pada nilai tukar peso terhadap dolar AS.
Menurutnya, tekanan nilai tukar rupiah baru akan mulai mereda secara bertahap setelah Bank Indonesia mulai kembali melelang Sertifikat Bank Indonesia. BI harus benar-benar hati-hati mempersiapkan instrumen ini. Bila tidak, resikonya pelemahan berlanjut pada nilai tukar rupiah akan cukup mengawatirkan, sebab akan menekan inflasi import dan biaya dana korporasi.
“Kuncinya adalah pengendalian di pasar valas-nya, baru bisa naikkan positif di saham dan obligasi. Memang masih perlu waktu, cuma kalau kelamaan memang orang akan berpersepsi negatif juga,” katanya.