Bisnis.com, JAKARTA – Setelah dalam 2 tahun terakhir terus membukukan kerugian mencapai US$20 juta, PT Logindo Samudramakmur Tbk. belum cukup optimistis untuk menargetkan laba bersih pada tahun ini.
Pasalnya, kendati harga minyak dunia mulai merangkak ke kisaran US$65 per barel, harga sewa kapal tidak ikut pulih. Aktivitas pengangkutan minyak yang menggeliat dinilai belum dapat mengompensasi bottom line perusahaan yang hilang dari rendahnya harga sewa kapal.
Presiden Direktur Logindo Samudramakmur Eddy Kurniawan Logam menyampaikan kinerja perseroan sangat tergantung dengan kebutuhan penggunaan di sektor minyak dan gas. Dengan bisnis migas yang kembali memanas, perusahaan menargetkan utilisasi kapal dapat meningkat.
“Dengan harga minyak sudah US$60-US$65 per barel, kami dapat memperbaiki utilisasi kapal. Pada 2017, utilisasi kapal kami di bawah 50%, jauh dari tahun 2014 yang pernah 82%. Tahun ini kami targetkan dapat mencapai 65%,” ujar Eddy saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (4/9/2018).
Untuk itu, Eddy menyampaikan perusahaan belum akan belanja kapal pada tahun ini dan akan fokus meningkatkan utilisasi dari kapal yang sudah ada. Perseroan memiliki total kapal 50 unit hingga akhir 2017.
Dia menyebut manajemen belum dapat memastikan apakah kenaikan utilisasi tersebut dapat membuat perusahaan mulai untung pada tahun ini. Pasalnya, selain utilisasi terseok ke level 50% pada tahun lalu, perusahaan pun harus menanggung biaya sewa kapal yang tusun lebih dari 50%.
Baca Juga
“Memang tahun ini kami harapkan utilisasi dapat meningkat, namun untuk harga [sewa kapal dapat pulih], itu membutuhkan waktu bisa sampai 2 tahun,” terang Eddy yang juga merupakan Ketua Asosiasi Kapal Indonesia.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan perseroan belum lama ini, emiten dengan kode saham LEAD tersebut membukukan penurunan pendapatan sekitar 16,94% ke level US$27 juta, dari tahun sebelumnya US$32,51 juta.
Pada tahun lalu, perusahaan kembali membukukan kerugian yaitu sebesar US$20,17 juta atau hanya turun tipis dibandingkan kerugian pada 2016 yang sebesar US$20,96 juta.
Meski sudah dua tahun berturut-turut membukukan kerugian nyaris US$30 juta, Eddy menyampaikan kondisi finansial perusahaan masih cukup baik mengingat pada tahun lalu perseroan baru saja melakukan penggalangan dana melalui penerbutan obligasi.
Tahun ini, perusahaan menargetka pertumbuhan pendapatan sebesar 10%, dengan EBITDA mencapai US$8 juta, naik tipis dari 2017 yang sebesar US$7 juta.