Bisnis.com, JAKARTA—Harga timah mendapatkan sentimen positif dalam jangka pendek akibat hambatan suplai dari Myanmar sebagai produsen ketiga terbesar di dunia.
Pada penutupan perdagangan Senin (12/6/2017) di London Metal Exchange (LME), harga timah naik 250 poin atau 1,33% menjadi US$19.050 per ton. Sepanjang tahun berjalan harga merosot 9,82%, sehingga timah menjadi logam dengan kinerja terburuk selama 2017.
Tahun lalu harga timah meningkat 45,14%, tertinggi di antara logam lainnya. Pada 30 Desember 2016 harga mencapai US$21.125 per ton.
Dalam publikasinya, International Tin Research Institute (ITRI) menyampaikan pasar timah mendapatkan sentimen positif dari proyeksi berkurangnya pasokan global dari Myanmar. Penyusutan suplai terjadi akibat kendala produksi dan akomodasi saat musim hujan.
“Ketersediaan bijih timah akan berkurang dalam sebulan ke depan,” paparnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (13/6/2017).
Namun demikian, proyeksi terhadap harga timah tidak begitu cerah karena China sebagai produsen, pengolah, dan konsumen terbesar di dunia bakal memacu suplai. Sentimen ini memanas setelah pemerintah setempat membuka keran ekspor bijih untuk mengurangi persediaan yang surplus di dalam Negeri Panda.
Dari sisi permintaan, kinerja China juga cukup mengkhawatirkan. Tercatat ekspor bijih timah dari Myanmar ke China merosot 51% year on year (yoy) pada April 2017.
Saat dihubungi Bisnis.com beberapa waktu lalu, Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim menyampaikan harga timah diperkirakan semakin melemah pada paruh kedua 2017 akibat kendala surplus suplai. Pada kuartal IV/2017 harga masih berpeluang ke area US$17.000 per ton.