Bisnis.com, JAKARTA--Empat emiten yang bernaung di bawah bendera afiliasi Grup Bakrie merancang strategi agar lolos dari jerat utang jatuh tempo bernilai jumbo.
Empat emiten itu adalah PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (UNSP), PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL), dan PT Energi Mega Persada Tbk. Keempatnya berencana melunasi utang senilai Rp17,93 triliun dengan berbagai cara.
PT Bakrie Telecom Tbk. mulai mengeksekusi penerbitan obligasi wajib konversi senilai total Rp7,6 triliun setelah kuartal I/2017. Perseroan mengklaim sudah mendapat restu Otoritas Jasa Keuangan untuk aksi tersebut.
Andi Pravidia Saliman, Direktur Bakrie Telecom, mengatakan perseroan akan berkomunikasi lagi dengan seluruh kreditur pada kuartal I tahun depan. Setelah itu, proses konversi dapat berjalan hingga 10 tahun ke depan.
"Seluruh kreditur sudah setuju dengan obligasi wajib konversi tersebut. Huawei akan dapat mayoritas, dia sudah setuju," kata Andi, Rabu (21/12/2016).
PT Huawei Tech Investment akan menggenggam saham Bakrie Telecom sebesar 9%. Sebanyak 50 kreditur akan menerima obligasi wajib konversi (OWK) yang ditawarkan emiten jasa telekomunikasi bersandi saham BTEL itu.
Selain Huawei, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), anak usaha PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR), bakal menggenggam 7,1% saham dalam BTEL dan PT Solusi Tunas Pratama Tbk. (SUPR) mengantongi 6,8% saham.
Penerbitan OWK senilai Rp7,6 triliun tersebut merupakan bagian dari pelunasan utang perseroan senilai total Rp11,6 triliun. Menurut Andi, utang perseroan yang tidak dikonversi ke saham sebesar Rp4 triliun akan diperpanjang tenornya. Perseroan belum memastikan restrukturisasi utang senilai Rp4 triliun tersebut.
Selain menghadapi restrukturisasi utang bernilai jumbo, BTEL tengah merampungkan pembentukan bisnis baru. Andi mengatakan perseroan akan masuk bisnis solusi mulai pertengahan tahun depan.
"Kami sudah bertemu beberapa calon mitra untuk bisnis solusi ini, tetapi belum memastikan bentuk kemitraan," ujar Andi.
Terbuka kemungkinan membentuk perusahaan patungan dengan mitra tersebut. Perseroan menilai bisnis baru di bidang solusi dapat mengimbangi penurunan pendapatan di bisnis jasa telekomunikasi.
Sejak 2015 BTEL sudah tidak lagi memiliki lisensi fixed wireless access (FWA) dan beralih ke jasa teleponi dasar atau mobile virtual network operation (MVNO).
Jumlah pelanggan Esia, merek yang diusung BTEL, menurun drastis setelah perseroan menjadi perusahaan MVNO. Pada akhir Desember 2015 jumlah pelanggan tersisa 2,4 juta dari akhir Desember 2014 sebanyak 11,64 juta atau turun hampir 80%.
Terpisah, Direktur Utama Energi Mega Persada Imam P. Agustino, mengatakan perseroan masih menyisakan utang sebesar US$323 juta. Hingga kuartal III/2016, pinjaman jangka pendek mencapai US$92,18 juta dan utang jangka panjang jatuh tempo setahun mencapai US$80,78 juta.
"Refinancing sekitar US$60 juta-US$100 juta yang jatuh tempo tahun depan," katanya dalam paparan publik, Rabu (21/12/2016).
Pinjaman jangka pendek terbesar berasal dari PST Finance Ltd., Cayman Island senilai US$54,14 juta. Sedangkan, pinjaman jangka panjang terbesar dari Japan Petroleum Exploration Co., Ltd., Jepang dan Mitsubishi Corporation Jepang masing-masing US$77,53 juta.
Secara keseluruhan, total liabilitas perseroan mencapai US$1,2 miliar dengan aset US$1,5 miliar. Sejak awal tahun ini, manajemen telah berupaya untuk melakukan pembayaran kembali pinjaman (refinancing).
Target emiten bersandi saham ENRG pada tahun ini dapat merealisasikan refinancing senilai US$60 juta. Namun, hingga akhir tahun, target itu belum terwujud.
Tahun depan, perseroan tidak berniat untuk menggalang dana dari pasar modal lewat emisi obligasi. Manajemen ENRG fokus refinancing dengan menggalang dana dari bank dalam dan luar negeri.
Imam menambahkan, perseroan juga tengah mengicar mitra strategis untuk melego kepemilikan saham atas area eksplorasi Blok Buzi. Pada Buzi Hydrocarbons Pte. Ltd., dengan area eksplorasi Mozambik, Afrika, perseroan menggenggam kepemilikan 75%.
Perusahaan minyak dan gas itu berencana melepas kepemilikan lebih dari 50% di BHPL Mozambik. ENRG bakal mempertahankan kepemilikan di blok tersebut sekitar 30%-50% dengan pertimbangan pembagian risiko eksplorasi.
Meski harga minyak mentah dunia mulai rebound, ENRG memerkirakan pendapatan bakal stagnan sekitar US$520 juta. Stagnasi pendapatan itu terjadi seiring koreksi target produksi menjadi 40 milion barrels oil equivalent per day (MBOEPD).
Anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) juga dipangkas 10% menjadi US$114 juta pada 2017. Belanja modal yang dirogoh dari kas internal itu akan digunakan untuk eksplorasi lapangan gas.
Pada kesempatan sebelumnya, Direktur Utama BNBR Bobby Sulistyo Umar, mengungkapkan perseroan kembali mengajukan proposal restrukturisasi utang setelah mendapatkan restu penerbitan OWK dari pemegang saham. BNBR akan merestrukturisasi pinjaman senilai total Rp8 triliun.
Dalam laporan keuangan per 30 September 2016, pinjaman jangka pendek mencapai Rp1,69 triliun dengan utang jangka panjang yang jatuh tempo setahun Rp3,26 triliun. Secara keseluruhan, liabilitas perseroan mencapai Rp12,49 triliun dari akhir tahun lalu Rp13,12 triliun.
Tiga kreditur kakap emiten bersandi saham BNBR di antaranya Credit Suisse AG. Singapore Rp1,13 triliun, Mitsubishi Corporation Jepang Rp1,91 triliun, dan Eurofa Capital Investment Inc., Singapura senilai Rp1,34 triliun.
Manajemen BNBR pada Senin (19/12), mengumumkan bahwa Daley Capital Limited secara resmi telah menyerap konversi utang menjadi 3,3 miliar lembar saham dengan nilai Rp165 miliar. Aksi itu merupakan satu kesatuan dengan penerbitan OWK 19,81 miliar lembar saham senilai Rp990,69 miliar.
Setali tiga uang, emiten perkebunan PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. juga berniat merestrukturisasi pinjaman senilai minimum Rp1,03 triliun. Secara keseluruhan, total pinjaman UNSP mencapai Rp9,23 triliun.
Gencarnya aksi restrukturisasi utang Grup Bakrie dilakukan mengekor kesuksesan PT Bumi Resources Tbk. (BUMI). Nilai utang kreditur yang akan direstrukturisasi menjadi ekuitas dalam tahap ini sekitar US$2,6 miliar.