Bisnis.com, JAKARTA - Harga logam mendapatkan sentimen negatif akibat melemahnya industri properti di China. Namun, nilai jual masih berpotensi meningkat pada 2017 seiring dengan meningkatnya permintaan.
Pada penutupan perdagangan Jumat (16/12/2016), harga tembaga di London Metal Exchange (LME) menurun 96,5 poin atau 1,68% menuju US$5.635 per ton. Ini menunjukkan kenaikan 19,78% year to date (ytd).
Sementara harga seng terkoreksi 88 poin atau 3,12% menjadi US$2.730 per ton, tetapi masih tumbuh 69,67% ytd. Adapun harga nikel turun 130 poin atau 1,15% menjadi US$11.170 per ton, naik 26,64% ytd.
Harga logam meningkat pesat sejak November di tengah kombinasi meningkatnya minat spekulasi dari investor China. Selain itu, pernyataan Trump yang akan membelanjakan dana US$1 triliun di sektor infrastruktur melambungkan proyeksi tingkat permintaan.
Ric Spooner, chief market strategist CMC Markets, menuturkan pasar kerap melakukan aksi ambil untung (profit taking)sebelum akhir tahun dengan berdasar kepada setiap berita negatif dari China. Misalnya data penurunan penjualan properti berdampak negatif pada harga logam.
Biro Statistik Nasional pada Senin (19/12) menyampaikan harga rumah baru medio November 2016, termasuk yang disubsidi pemerintah, hanya tumbuh di 55 kota dari 70 kota yang dilacak oleh negara. Angka ini jatuh dari Oktober yang mencatatkan kenaikan di 62 kota.
Selain itu, harga jual rumah di 11 kota mengalami penurunan. Pertumbuhan nilai jual rumah pada bulan lalu menunjukkan perlambatan terbesar sepanjang tahun berjalan.
Presiden China Xi Jinping menegaskan untuk mengekang terjadinya gelembung properti di negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar se-Asia. Para pengambil kebijakan lain juga menyampaikan bahwa rumah yang dibangun digunakan sebagai hunian, bukan untuk spekulasi.
"Sebelum 2016 berakhir, pasar rentan melakukan sedikit profit taking pada setiap berita negatif dari China," ujar Spooner seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (19/12/2016).
Dia mengatakan pada 2017 proyeksi harga logam semakin membaik akibat bergeraknya pasar menuju periode defisit. Namun, reli besar harga yang sudah berjalan membuat pasar berhati-hati pada setiap kenaikan persediaan.
Dalam risetnya, Morgan Stanley memprediksi harga logam pada 2017 bakal mengalami peningkatan seiring dengan rencana Presiden AS Donald Trump untuk memacu sektor infrastruktur dan naiknya permintaan China.
Harga logam telah mengalami reli 27% sepanjang tahun berjalan hingga 12 Desember 2016. Indeks LME pun menuju kenaikan tahunan pertama dalam empat tahun terakhir. Konsumsi China terbukti masih kuat dan kemenangan Trump mendorong spekulasi prospek permintaan.
"Akan tetapi, rincian rencana pengembangan infrastruktur AS belum diketahui. Pasar masih melihat faktor-faktor yang mendukung kenaikan harga dari sisi fundamental," papar riset.
Harga logam yang menempati daftar teratas (top picks) pada 2017 versi Morgan Stanley ialah seng, nikel, dan alumunium. Sementara komoditas lain seperti bijih besi, batu bara termal, dan batu bara metalurgi memiliki kinerja yang cukup baik.
Tahun depan, rerata harga seng diprediksi naik 16% menjadi US$2.728 per ton, nikel tumbuh 13% menuju US$11.657 per ton, alumunium 10% menjadi US$1.786 per ton, dan tembaga meningkat 13% menuju US$5.346 per ton.