Bisnis.com, JAKARTA - Manajemen PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. menyiapkan sejumlah rencana alternatif terkait belanja modal pada 2016 di tengah ketidakpastian mengenai usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk perseroan.
Berdasarkan arsip perseroan, sejak Januari hingga awal Maret 2016, emiten berkode saham WIKA itu setidaknya telah membuat dua kali pernyataan tertulis di mana terdapat penjelasan mengenai rencana anggaran belanja modal pada 2016.
Pada 11 Januari 2016, Wijaya Karya mengumumkan secara tertulis rencana belanja modal senilai Rp10,59 triliun dengan asumsi perseroan mendapatkan PMN senilai Rp4 triliun dalam APBN Perubahan 2016.
Belanja modal itu terdiri dari anggaran untuk perusahaan induk senilai Rp9,82 triliun serta anggaran untuk anak perusahaan Rp770,44 miliar.
Komposisi capex untuk perusahaan induk terdiri dari pengembangan usaha Rp7,68 triliun, penyertaan Rp1,55 triliun dan investasi aset tetap Rp583,5 miliar.
Kurang dari tiga bulan setelah itu, atau pada 7 Maret 2016, Wijaya Karya menyatakan kembali rencana belanja modal senilai Rp6,98 triliun atau lebih rendah Rp3,61 triliun dari rencana semula.
Capex tersebut antara lain untuk perusahaan induk Rp6,21 triliun dan anak perusahaan Rp770,44 miliar.
Komposisi belanja modal untuk perusahaan induk terdiri dari pengembangan usaha senilai Rp1,59 triliun (lebih rendah Rp6,09 triliun dari rencana awal), pengembangan usaha (PMN) Rp2,69 triliun, penyertaan senilai Rp976,55 miliar (lebih rendah Rp574 miliar) dan investasi aset tetap Rp593,5 miliar (lebih tinggi Rp10 miliar).
Seperti diketahui, anggaran belanja modal itu menggunakan asumsi PMN. Apabila memperoleh PMN senilai Rp4 triliun, perusahaan akan melakukan penawaran saham baru (rights issue) sehingga ekuitas dapat bertambah.
Persoalannya, kebijakan pemberian PMN kepada BUMN pada saat ini belum jelas. Pembahasan RAPBN Perubahan 2016 belum dimulai. Belum dapat dipastikan apakah PMN akan diusulkan atau tidak dalam RAPBN Perubahan 2016.
Selain itu, pengusul PMN kepada DPR yaitu Menteri BUMN Rini Soemarno dilarang oleh DPR untuk mengikuti rapat dengan komisi mitra BUMN yaitu Komisi VI sebagai buntut dari persoalan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) pada akhir 2015.
Sampai saat ini, belum ada rapat antara kedua belah pihak tersebut.
Sejumlah proyek Wijaya Karya yang bakal ditopang oleh PMN antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa V serta PLTU Jawa VII.
Proyek lainnya adalah pembangunan Kawasan Industri Kuala Tanjung, pembangunan jalan tol Soreang-Pasir Koja, pembangunan jalan tol Manado-Bitung, pembangunan jalan tol Samarinda Balikpapan serta sistem penyediaan air minum (SPAM) Jatiluhur.
Dalam publikasinya pada Senin (14/3), Maria Renata, analis UOB Kay Hian Securities, mencatat terdapat perbedaan perkiraan laba bersih perusahaan apabila melakukan atau tidak melakukan rights issue pada 2016.
Apabila Wijaya Karya melakukan rights issue pada September atau November 2016, laba bersih perusahaan diperkirakan Rp820 miliar pada 2016, atau meningkat 31,2% dibandingkan dengan Rp625 miliar pada 2015.
Namun, apabila tanpa rights issue tahun ini, laba bersih diperkirakan Rp750 miliar atau meningkat 20% dibandingkan dengan realisasi 2015. Hasil rights issue perseroan kemungkinan bakal digunakan sebagai modal kerja.
“Kami menargetkan laba bersih pada 2016 sebesar Rp738 miliar, meningkat 18% y-o-y dan kontrak baru pada 2016 sebesar Rp45,1 triliun atau meningkat 78,7% y-o-y di mana 13,8% lebih rendah dibandingkan dengan target manajemen,” tulis Maria dalam publikasinya.
UOB Kay Hian Securities memperkirakan orderbook perusahaan mencapai Rp78,8 triliun pada akhir 2016. Sementara itu, pendapatan diperkirakan mencapai Rp16,9 triliun pada 2016 atau meningkat 24,4% dibandingkan dengan realisasi pada 2015.
“Target keuntungan kami 7,8% lebih rendah dibandingkan dengan target sebelumnya sebesar Rp800 miliar. Ini sejalan dengan target manajemen yang mengasumsikan tidak ada rights issue pada tahun ini,” mengutip laporan tersebut.
KONTRAK BARU
Pada 2016, WIKA menargetkan perolehan kontrak baru mencapai Rp83,05 triliun yang terdiri dari Rp52,8 triliun dan carry over Rp30,25 triliun. Komposisi itu berasal dari proyek pemerintah dengan porsi 20,73%, BUMN 15,85% dan swasta 63,42%.
Di tengah ketidakpastian mengenai PMN tersebut, Wijaya Karya tetap menggarap sejumlah proyek infrastruktur yang ditugaskan oleh pemerintah.
Dari sekian banyak proyek, salah satu proyek besar yang bakal digarap oleh Wijaya Karya adalah kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pada pekan lalu, Kementerian Perhubungan akhirnya menerbitkan izin pembangunan untuk proyek tersebut, setelah sempat tertunda beberapa waktu. Proyek itu diperkirakan bakal berdampak terhadap kinerja Wijaya Karya.
Proyek tersebut, tulis Maria, bakal memberikan kontribusi kontrak konstruksi sekitar Rp17 triliun. Di samping itu, proyek itu juga mendapat perhatian berdasarkan sejumlah aspek seperti internal rate return (IRR) dan sumber pendanaan.
IRR proyek itu diperkirakan tidak lebih dari 5%. Wijaya Karya juga perlu menggalang dana untuk proyek ini karena dana hasil rights issue tidak diperkenankan untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
“Manajemen mengakui bahwa perusahaan tengah mencari nilai tambah dari proyek properti, tapi pada saat ini belum ada rincian lebih lanjut mengenai proyek-proyek properti itu,” tulis Maria dalam publikasi itu.