Bisnis.com, JAKARTA - Saat imbal hasil indeks harga saham gabungan mencapai 4,75% sepanjang tahun berjalan, saham emiten subsektor kesehatan ternyata masih terpuruk.
Berdasarkan data Bloomberg, dari empat emiten subsektor kesehatan, seluruhnya mencatat return year-to-date negatif hingga penutupan perdagangan Selasa (8/3/2016).
Kinerja saham yang paling anjlok dialami oleh saham PT Siloam International Hospitals Tbk. (SILO) sebesar -38.91%. Pada perdagangan Selasa (8/2/2016), saham SILO ditutup pada tingkat harga Rp8.000 per saham.
Senada dengan kinerja return SILO, return sepanjang tahun berjalan PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA), PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk. (SAME), dan PT Sejahteraraya Anugerajaya Tbk. (SRAJ) juga masih negatif.
Hingga Selasa (8/3/2016), saham MIKA ditutup pada level Rp2.320 per lembar atau -3,33% secara year to date. Sementara itu, saham SAME dan SRAJ masing-masing mencatat return -1,13% dan -5,41% sepanjang tahun ber jalan.
Dengan kondisi tersebut, saham empat emiten yang menjalankan bisnis rumah sakit belum mampu terdongkrak menca pai return positif sepanjang Januari, 8 Maret 2016.
Head of Corporate Strategy & Research PT Bahana Securities Harry Su mengatakan pergerakan saham emiten pengelola rumah sakit belum masuk ke zona positif lantaran kinerja perseroan pada tahun lalu di bawah ekspektasi pelaku pasar.
Selain itu, valuasi sahamnya dinilai sudah cukup mahal. “Ada concern juga mengenai BPJS Kesehatan membuat margin lebih kecil,” ujarnya, Rabu (9/3/2016).
Selain itu, tekanan terhadap emiten pengelola rumah sakit juga muncul dari keinginan Presiden Joko Widodo menurunkan harga obat-obatan. Padahal penjualan obat menyumbang 40% dari pendapatan rumah sakit.
“Kalau harga obat ditekan, kemungkinan bisa menurunkan profitabilitas. Obat generik diwajibkan tidak masalah, tetapi kalau harga ditekan pendapatan bisa turun,” imbuhnya.
PROFIT MARGIN
Franky Rivan, analis KDB Dae-woo Securities Indonesia, mengatakan pada 2015, pendapatan SILO cukup baik. Dibandingkan 2010, pendapatan SILO pada 2015 meningkat empat kali lipat menjadi Rp4,1 triliun. Namun, margin laba bersih SILO pada tahun lalu hanya 1,7%, jauh di bawah capaian pada 2010 yang mencapai 6,5%.
“Kami memperhatikan profitabilitasnya, karena SILO sedang memiliki kesulitan untuk meningkatkan pendapatan bottom line-nya. Kami juga ingin menggarisbawahi bahwa 60,2% dari aset jangka pendek SILO datang dari piutang,” ujarnya dalam riset yang dipublikasikan Senin (7/3).
Risiko SILO dalam jangka pendek, lanjutnya, adalah penurunan profit margin.
Sementara itu, Analis Samuel Sekuritas Indonesia Akhmad Nur cahyadi menuturkan MIKA telah mencatat perkembangan usaha yang positif selama 5 tahun terakhir.
“Kami memproyeksikan MIKA masih akan mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan ke depannya. Hingga kuartal III/2015, ekspansi usaha menjadi 18 rumah sakit dengan total penambahan 384 tempat tidur akan menjadi pendorong pertumbuhan berkelanjutan MIKA,” tuturnya.
Akhmad menambahkan MIKA mentargetkan untuk membuka minimal satu unit rumah sakit setiap tahun sehingga penambahan tempat tidur berpotensi mencapai total 3.600 tempat tidur pada 2019.
Potensi pertumbuhan outpatient visit MIKA juga disebut relatif stabil didukung oleh rasio repeated patient sebesar 80%. Kendati demikian, MIKA berisiko mengalami penurunan kunjungan pasien seiring kebijakan RS yang sampai saat ini belum menerima pasien BPJS.
Sementara itu, PT Sejahteraraya Anugerahjaya Tbk. (SRAJ) berencana melanjutkan ekspansinya dengan membangun dua rumah sakit baru di Cakung, Jakarta Timur, dan di Surabaya, Jawa Timur pada tahun ini. Nilai proyek tersebut masing-masing sekitar Rp400 miliar.
Pengelola bisnis rumah sakit Mayapada Group ini juga berencana melakukan rights issue pada semester I/2016 dengan target dana yang dihimpun Rp1 triliun—Rp1,5 triliun.
Secara umum, sektor health-care dinilai overweight lantaran enam katalis utama penggerak pertumbuhan sektor ini.
Pertama, angka belanja kesehatan swasta dan publik terhitung masih sangat rendah dan berpotensi bertumbuh signifikan.
Kedua, ukuran pasar yang masih kecil.
Ketiga, kebutuhan dan permintaan layanan RS yang konsisten dan terus meningkat.
Keempat, industri asuransi yang akan bertumbuh positif secara ber kelanjutan.
Kelima, program Jaminan Kesehatan Nasional yang akan menguntungkan RS yang menjadi mitra.
Keenam, akselerasi aktivitas ekonomi yang akan berdampak pada kenaikan disposable income yang berujung pada kenaikan health spending.