Konsekuensi Ketatnya Persaingan Industri
Mungkin dalam ingatan sebagian orang masih teringat betapa ramainya industri telekomunikasi di Indonesia dengan layanan berbasis teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) pada pertengahan 2000-an.
Siapa sangka setelah lebih dari satu dekade, perusahaan yang menggunakan teknologi CDMA ini mulai redup satu per satu.
Sebelum kejadian penutupan BTEL di beberapa wilayah ini, Flexi dan Starone sudah me lakukan hal serupa terlebih dahulu.
Starone, anak usaha Indosat Ooredoo, telah mengakhiri layanan berbasis teknologi CDMA ini pada 30 Juni 2015. Seluruh pelanggan StarOne dimigrasi ke Indosat.
Nah, bagaimana dengan BTEL sendiri? Kompensasi apa yang didapatkan oleh pelanggan yang sudah tidak bisa lagi menggunakan layanan Esia? BTEL belum mengumumkan lebih lanjut langkah apa yang akan mereka lakukan.
Sebagai pengingat, saat ini BTEL bukan lagi berperan sebagai penyelenggara jaringan,perusahaan ini hanya sebagai penyelenggara jasa saja. BTEL menggunakan jaringan Smartfren untuk melayani pelanggannya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pun ikut angkat bicara menanggapi kejadian ini. Dia mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap penutupan layanan di beberapa wilayah tersebut. Namun, ini dinilai sebagai konsekuensi dari persaingan dalam sebuah industri.
“Menutup layanan, di satu pihak bagi saya prihatin artinya ini bukan yang kita inginkan. Tapi ini sebagai konsekuensi dari persaingan. Apa boleh buat? Menyesali sebagai industri. Tapi kembali lagi itu konsekuensi dari persaingan,” ujarnya pekan lalu.
Tanggapan serupa pun muncul dari Pre siden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk. Merza Fachys. Menurutnya, semua perusahaan tentu memiliki strategi masing-masing.
“Setiap orang punya strategi masing-masing, keputusan bisnis mereka jadi hormatilah,” ujarnya. Sebagai partner kerja sama,
Merza mengungkapkan secara bisnis tidak ada dampak apa-apa. BTEL bisa memilih area yang akan mereka gelar layanan.