Bisnis.com, JAKARTA— Kenaikan cukai rokok dengan rata-rata 11,19% tahun depan membuat sejumlah emiten rokok bersiap menaikkan harga rokok di pasaran tahun depan.
Pasalnya, bila kenaikan cukai tidak dibebankan pada kenaikan harga, kinerja keuangan emiten rokok akan tergilas.
Surjanto Yasaputera, Sekretaris Perusahaan PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) mengatakan kenaikan cukai dengan rata-rata 11,19% tahun depan memang lebih tinggi dari perkiraan. Pasalnya, untuk tahun ini saja kemungkinan besar volume penjualan industri akan turun dibandingkan dengan tahun lalu.
Padahal, kenaikan cukai tahun ini tidak sampai rata-rata 10%. Per September, volume penjualan rokok industri tercatat hanya 232 miliar unit. Sementara, sepanjang tahun lalu mencapai 314 miliar unit.
Dengan demikian, industri rokok dan produsen akan sulit berkembang tahun depan. Adapun, untuk mengkompensasi kenaikan cukai tersebut, mau tidak mau perusahaan akan membebankannya kepada konsumen.
“Harga rokok memang setiap tahun disesuaikan, terutama terhadap kenaikan cukainya. Selain itu, juga terhadap kenaikan biaya yang lain seperti upah minimum, bahan baku, dan sebagainya,” katanya kepada Bisnis, Senin (16/11/2015),
Meski demikian, Wismilak belum bisa memastikan berapa persen kenaikan harga yang akan dilakukan tahun depan. Menurutnya, masih diperlukan pertimbangan dan perhitungan terhadap kenaikan biaya yang lain.
Direktur PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) Heru Budiman mengatakan rencana kenaikan cukai rokok rata-rata sekitar 11,19% tahun 2016, biasanya akan dibebankan kepada konsumen, melalui kenaikan harga. Meski demikian, kenaikan tetap dilakukan secara bertahap. Misalnya, kenaikan Rp100 untuk isi 12 batang dan Rp300 untuk isi 16 batang.
Setelah melakukan kenaikan tersebut, perseroan akan memantau harga di pasar. Apakah diikuti dengan kenaikan harga dari produsen lain atau bagaimana. Bila diikuti oleh emiten lain, berarti aman. “Biasanya pemain lain juga menaikkan. Kami tidak akan menaikkan harga sekaligus langsung Rp500 misalnya, karena kalau yang lain tidak menaikkan, kemudian konsumen pindah bagaimana,” jelasnya.
Sebenarnya, perseroan ingin kenaikan harga rokok dilakukan sebelum kenaikan cukai berlaku, tetapi hal tersebut dirasa sulit untuk dilakukan. Menurutnya, bila kenaikan cukai tidak diimbangi dengan kenaikan harga rokok di konsumen, maka akan menggerus profitabilitas perseroan.
Sepanjang sembilan bulan tahun ini, perseroan berhasil membukukan penjualan senilai Rp51,01 triliun atau naik 5,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, senilai Rp48,19 triliun.
Meski mencatatkan pertumbuhan nilai penjualan, penjualan volume rokok perseroan turn sekitar 3,5% dari 60,2 miliar batang menjadi 58,1 miliar batang. Sementara, perseroan berhasil membukukan profit Rp4,11 triliun atau tumbuh tipis 1,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara itu, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) mengapresiasi keputusan pemerintah yang tidak jadi menaikkan tarif cukai rokok sesuai rencana awal rata-rata sebesar 23% tahun depan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.10/2015 yang baru saja terbit, pemerintah diketahui hanya menaikkan tarif rata-rata 11,19% dan bahkan untuk Golongan 3B, tarifnya tetap di angka Rp 80 per batang.
Presiden Direktur Sampoerna Paul Norman Janelle menilai keputusan tersebut merupakan bentuk perhatian pemerintah di tengah lesunya industri rokok dalam beberapa waktu terakhir. "Penting untuk mengetahui bahwa pemerintah dalam pembahasan APBN mendengarkan masalah industri, dan menurunkan targetnya," ujar Paul.
Terkait kenaikan harga rokok tahun depan, Paul enggan berkomentar. “Kami tidak akan membahas soal harga tahun depan.”