Bisnis.com, JAKARTA - Meski pasar saham Indonesia tengah diterpa berbagai hambatan dan penuh risiko dalam jangka pendek, kalangan manajer investasi masih optimistis dengan prospek pasar saham Indonesia tahun ini.
Edward Lubis, Direktur Utama PT Bahana TCW Investment Management mengatakan saat ini tengah khawatir dengan pasar saham Indonesia. Pihaknya masih menanti-nanti kepastian dari The Fed terkait rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat. Menurutnya, bila The Fed melakukan rencana normalitas tersebut, dollar AS akan menguat dan berdampak pada rupiah.
Pasar saham juga akan tergoncang lantaran investor asing akan keluar dahulu. “Meski demikian, kami masih dalam posisi netral, khawatir memang jangka pendek. Untuk jangka panjang kami masih optimistis,” kata Edward saat dihubungi Bisnis, Rabu (1/4/2015).
Serambi melihat kondisi pasar ke depan, tahun ini Bahana sedikit menurunkan porsi saham untuk produk reksa dana sahamnya. Misalnya, untuk produk reksa dana saham, tahun lalu pihaknya mengalokasikan saham hingga 95%-97%. Untuk saat ini, diperkirakan sedikit di bawah 90%.
Adapun, sebagian besar dialokasikan pada sektor perbankan, infrastruktur, dan consumer. “Kami saat ini arahnya lebih melihat pembuktian janji pemerintah, janjinya banyak, percepatan di mana-mana. Kami harapkan bisa segera teralisasi, ini akan berpengaruh ke pasar saham nantinya,” katanya.
Dia berharap, investor tetap berinvestasi secara reguler dan tidak mengurangi investasinya. Menurutnya, kondisi market saat ini sangat d dipengaruhi oleh sentimen ekonomi dalam negeri dan global. “Memang sekarang sentimen belum ada, tapi harus diingat likuiditas di luar tinggi, pada akhirnya nanti dana akan mengalir ke negara emerging market, termasuk Indonesia.”
Sebeumnya, seperti dikutip Reuters akhir pekan lalu, MI dan investor asing mulai khawatir dengan pasar saham Indonesia. Kekhawatiran ini disebabkan oleh pelemahan rupiah, tingkat rekor utang luar negeri dan meningkatnya biaya impor. Belum lagi jatuhnya ekspor pertanian dan mineral yang disebabkan oleh turunnya harga komoditas.
Untuk diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah terdepresiasi 5% tahun ini. Norico Gaman, Kepala Riset BNI Securities, memperkirakan sebagian besar ekuitas asing memperkirakan tingkat rata-rata nilai tukar sekitar Rp12.200 rupiah per dollar AS. Dengan demikian, saat ini pada investor itu sudah berada di kerugian mata uang sekitar 6,5%.
Siswa Rizali, Kepala Riset PT AAA Asset Management mengatakan kondisi market saat ini dilihat dari indikator finansial kurs rupiah, saham, dan harga surat utang negara (SUN). Saat ini, nilai tukar tengah melemah, SUN tengah konsolidasi. “Mengapa saham rally? Untuk short term susah melawan tren penguatan dollar AS,” katanya kepada Bisnis, Selasa (31/3).
Namun, katanya, untuk jangka panjang, fundamental perusahaan dan makro Indonesia akan positif. “Jadi harus sabar, jangan berharap return terlalu tinggi saat ini.”
Sementara itu, Desmon Silitonga, analis PT Millenium Danatama Aset Manajemen mengatakan pasar saham merupakan tempat pertemuan antara orang yang optimistis dan pesimistis. Menurutnya, cukup beralasan bagi manajer investasi (MI), terutama MI asing khawatir dengan kondisi pasar saham Indonesia saat ini.
"Pasalnya, dengan adanya pelemahan rupiah, eksposur kerugian mereka meningkat," katanya kepada Bisnis, Minggu (29/3/2015).
Kekhawatiran tersebut, kata Desmon, juga disebabkan lantaran sepanjang tahun lalu asing cukup agresif masuk ke pasar saham dan mencatatkan aksi beli bersih (net buy) yang cukup besar. Begitu juga dengan awal tahun ini, investor asing masuk di saat IHG sudah berada di level tinggi. "Artinya, jika beberapa saat terakhir melakukan aksi jual, ada kemungkinan mereka melakukan cut loss."
Dia menilai, dengan berbagai hambatan yang ada, pasar saham Indonesia masih cukup menarik. Kondisi ekonomi Indonesia bisa dikatakan cukup baik. Hal ini bisa terlihat dari data inflasi yang masih terkendali, pertumbuhan ekonomi yang dipatok di atas 5%, kebijakan moneter yang masih kondusif, adanya reformasi fiskal dan upaya-upaya pemerintah untuk memacu infrastruktur dalam negeri.